BAB I
FUNGSI BAHASA
A. Pengertian Bahasa
Bahasa
merupakan sarana yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia, mengingat
manusia sebagai makhluk sosial, makhluk Tuhan yang tidak bisa hidup tanpa kerja
sama dengan orang lain. Bahasa dibutuhkan sebagai sebuah sarana untuk
menghubungkan manusia satu dengan lainnya. Secara umum, bahasa lebih dikenal
sebagai alat komunikasi. Secara teknis, bahasa adalah seperangkat ujaran yang
bermakna yang dihasilkan alat ucap manusia, sedangkan secara praktis, menurut
Keraf (2004: 1), bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa
simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Berdasarkan
pengertian bahasa di atas, dapat dikatakan bahwa bahasa memiliki 2 aspek, yaitu
aspek sistem (lambang) bunyi dan aspek makna. Bunyi bahasa memiliki sistem,
artinya tersusun menurut aturan. Sistem bunyi terdapat pada bahasa lisan,
sedangkan sistem bunyi yang digambarkan dengan lambang, yaitu huruf, ditemukan
dalam bahasa tulis. Aspek makna
dalam bahasa mengandung suatu arti / pengertian yang ditimbulkan oleh bentuk
bahasa. Hubungan kedua aspek bahasa tersebut bersifat arbitrer atau manasuka. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2002: 88) juga disebutkan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota
suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan
diri. Hubungan tersebut dikatakan arbitrer,
karena antara bahasa sebagai sistem bunyi dan wujud benda / konsep yang
dilambangkan dengan bahasa itu sebenarnya tidak ada kaitan langsung. Jadi,
hubungan antara bahasa dan wujud bendanya hanya didasarkan pada kesepakatan
antarpenutur bahasa di dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Apakah seekor
hewan dengan ciri-ciri tertentu dinamakan anjing,
dog, hund, chien, atau canis, itu tergantung dari kesepakatan
anggota masyarakat bahasa itu masing-masing.
B. Fungsi Bahasa secara Umum
Bahasa selain merupakan alat komunikasi, pada dasarnya juga merupakan alat
ekspresi diri, alat integrasi dan adaptasi sosial, serta alat kontrol sosial.
1. Alat Ekspresi Diri
Bahasa merupakan sarana untuk
mengekspresikan segala sesuatu yang ada dalam diri seseorang, baik berupa
gagasan, pikiran, perasaan, maupun pengalaman. Sebagai alat ekspresi diri,
bahasa mampu menyatakan keberadaan atau menunjukkan eksistensi seseorang kepada
orang lain. Pada dasarnya, tindakan mengekspresikan diri sudah dimiliki
seseorang sejak masih bayi, yaitu untuk menunjukkan rasa lapar, haus,
mengantuk, biasanya seorang bayi menangis. Bahasa bukan saja mencerminkan gagasan
dan pikiran, melainkan juga mencerminkan perasaan dan perilaku seseorang.
2. Alat Komunikasi
Dalam fungsi ini, bahasa digunakan
untuk menjalin hubungan dengan anggota masyarakat yang lain yang mempunyai
kesamaan bahasa. Sebagai alat komunikasi, bahasa berperan sebagai sarana untuk
menjalin kerja sama dengan pihak lain, baik kepentingan perseorangan, kelompok,
maupun bersama. Dengan bahasa, kita dapat mempelajari segala sesuatu, seperti
warisan nenek moyang, sehingga selain mewarisi budaya dan tradisi sekaligus
dapat melestarikan dengan cara mengajarkannya kepada generasi penerus.
3. Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial
Melalui bahasa, seorang anggota
masyarakat perlahan-lahan belajar mengenal segala adapt-istiadat, tingkah laku,
dan tata karma masyarakat. Ia mencoba menyesuaikan diri (adaptasi) dengan
semuanya melalui bahasa. Seorang pendatang baru dalam sebuah masyarakat pun
harus melakukan hal yang sama. Bila ingin hidup tenteram dan harmonis dengan
masyarakat itu, ia harus menyesuaikan diri dengan masyarakatnya. Untuk itu, ia
memerlukan bahasa, yaitu bahasa masyarakat tersebut. Jika ia dapat menyesuaikan
diri, ia pun akan dengan mudah membaur (berintegrasi) dengan segala macam tata
krama di dalam masyarakat tersebut.
4. Alat Kontrol Sosial
Bahasa dapat digunakan untuk
mengatur berbagai aktivitas sosial, merencanakan berbagai kegiatan, dan
mengarahkannya ke dalam suatu tujuan yang diinginkan. Segala kegiatan dapat berjalan dengan baik apabila
diatur atau dikontrol dengan bahasa. Selain itu, kita dapat memberikan perintah
atau instruksi kepada seseorang untuk melakukan suatu aktivitas atau
sebaliknya, melarang melakukan suatu aktivitas. Semua tutur kata dimaksudkan
untuk mendapat tanggapan, baik tanggapan yang berupa lisan (perkataan) maupun
berupa perbuatan/tindakan. Seorang pemimpin akan kehilangan wibawa, bila bahasa
yang dipergunakan untuk menyampaikan ilustrasi atau penerangan kepada
bawahannya adalah bahasa yang kacau dan tidak teratur. Kekacauan dalam
berbahasa akan menggagalkan usaha untuk memengaruhi tingkah laku bawahannya.
C. Fungsi Bahasa secara Khusus
Ada beberapa faktor yang mendukung
pernyataan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa terpenting di Indonesia.
Beberapa faktor tersebut adalah Sumpah Pemuda 1928, Pasal 36 UUD 1945, jumlah
penutur bahasa Indonesia yang banyak, persebaran Bahasa Indonesia yang sangat
luas, dan peranan Bahasa Indonesia sebagai sarana ilmu, sastra, serta ungkapan
budaya lain.
Bahasa Indonesia dalam khazanah
kehidupan berbangsa dan bernegara mempunyai dua kedudukan, yakni sebagai bahasa
nasional, yang didasarkan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan sebagai bahasa
negara, yang didasarkan pada UUD 1945, Bab XV, Pasal 36.
Di
dalam keputusan Seminar Politik Bahasa Nasional dinyatakan bahwa sebagai bahasa
nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
1.
lambang kebanggaan nasional,
2.
lambang identitas nasional,
3. alat pemersatu berbagai masyarakat yang
berbineka, dan
4. alat perhubungan antarbudaya dan
antardaerah.
Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai:
1.
bahasa resmi kenegaraan,
2. bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga
pendidikan,
3. bahasa resmi di dalam perhubungan pada
tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
serta pemerintahan, dan
4.
bahasa resmi dalam pengembangan kebudayaan dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan teknologi modern serta seni (Sugono, 1994: 3).
BAB II
BENTUK-BENTUK KEBAHASAAN
BERDASARKAN KONTEKSNYA
A. Ragam Bahasa
Ragam
bahasa yang dimaksudkan adalah variasi pemakaian bahasa yang timbul sebagai
akibat adanya sarana / media, situasi, dan bidang pemakaian bahasa yang
berbeda-beda. Beberapa penyebab terjadinya variasi bahasa tersebut merupakan
tiga hal terpenting yang perlu diperhatikan jika membicarakan ragam bahasa.
Ketiga hal tersebut adalah:
1.
media yang digunakan, dibedakan atas ragam bahasa lisan
dan ragam bahasa tulis;
2.
latar belakang penutur, dibedakan atas: (a) ragam
daerah (dialek), (b) ragam bahasa terpelajar, (c) ragam bahasa resmi, dan (d)
ragam bahasa tak resmi;
3.
pokok persoalan yang dibicarakan, dibedakan atas
bidang-bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya ragam bahasa hukum,
ragam bahasa sastra, dan ragam bahasa kedokteran.
B. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Munculnya
pernyataan “bahasa Indonesia yang baik dan benar” pada dasarnya tidak terlepas
dari konteks pemakaian bahasa yang beragam.
Kriteria pemakaian bahasa yang baik
adalah ketepatan memilih ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi.
Pemilihan ini bertalian dengan topik apa yang dibicarakan, tujuan pembicaraan,
orang yang diajak berbicara (lisan) atau orang yang akan membaca (tulis), dan
tempat pembicaraan. Selain itu, bahasa yang baik adalah bernalar, artinya logis
dan sesuai dengan tata nilai masyarakat.
Kriteria
pemakaian bahasa yang benar adalah dengan melihat kaidah bahasa. Kaidah bahasa
meliputi aspek:
1.
tata bunyi (fonologi),
2. tata bahasa (kata dan kalimat),
3. tata wacana
4.
kosakata (termasuk istilah),
5.
ejaan, dan
6.
makna.
Dengan demikian, yang dimaksud
bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang penggunaannya
sesuai dengan situasi pemakaiannya dan sekaligus sesuai dengan kaidah yang
berlaku.
BAB III
LOGIKA / PENALARAN DALAM BAHASA
A. Menulis sebagai Proses Penalaran
Menulis
sebagai salah satu kegiatan berbahasa merupakan proses berpikir, karena
melakukan pemikiran yang menghubungkan dan membandingkan fakta. Tulisan adalah perwujudan hasil
pemikiran/penalaran. Jadi, tulisan tidak dapat dipisahkan dari penalaran.
Berpikir
merupakan kegiatan mental setiap saat yang terjadi secara sadar maupun tidak
sadar. Bernalar adalah kegiatan berpikir dengan tingkatan yang lebih tinggi,
dilakukan secara sadar, tersusun dalam urutan yang saling berhubungan dan
bertujuan ke arah kesimpulan. Dengan demikian, proses bernalar atau penalaran
merupakan proses berpikir yang sistematik untuk memperoleh kesimpulan berupa
pengetahuan (Akhadiah, 1992: 41). Kegiatan penalaran bisa bersifat ilmiah atau
tidak ilmiah. Sedangkan dari prosesnya, penalaran dapat dibedakan atas
penalaran induktif dan penalaran deduktif.
B. Penalaran Induktif
Penalaran
induktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau
sikap yang berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus. Ada
beberapa jenis penalaran yang termasuk dalam penalaran induktif, di antaranya:
generalisasi, analogi, dan hubungan kausal.
1. Generalisasi
Generalisasi
adalah proses penalaran berdasarkan pengamatan atas sejumlah gejala dengan
sifat-sifat tertentu untuk menarik kesimpulan umum mengenai semua atau sebagian
dari gejala serupa.
2. Analogi
Analogi adalah proses penalaran yang
bertolak dari dua peristiwa khusus yang mirip satu sama lain, kemudian
menyimpulkan apa yang berlaku untuk suatu hal akan berlaku pula untuk hal lain.
Tujuan proses penalaran analogi adalah untuk meramalkan kesamaan, menyingkap
kekeliruan, dan menyusun sebuah klasifikasi.
3. Hubungan Kausal
Hubungan kausal merupakan hubungan
ketergantungan antara gejala-gejala yang mengikuti pola sebab-akibat,
akibat-sebab, dan akibat-akibat. Hubungan sebab-akibat mula-mula bertolak dari
suatu peristiwa yang dianggap sebagai sebab yang diketahui, kemudian bergerak
maju menuju pada suatu kesimpulan sebagai efek atau akibat terdekat, misalkan
kalau saya tidak ikut ujian, saya tidak akan lulus. Hubungan akibat-sebab
merupakan proses berpikir induktif dengan bertolak dari peristiwa yang dianggap
sebagai akibat yang diketahui, kemudian bergerak menuju sebab-sebab yang
mungkin telah menimbulkan akibat tadi, misalnya ada seorang pasien pergi ke
dokter karena sakit yang dideritanya. Hubungan akibat-akibat adalah proses
penalaran yang bertolak dari suatu akibat menuju suatu akibat yang lain tanpa
menyebut sebab umum yang menimbulkan kedua akibat tadi.
C. Penalaran Deduktif
Penalaran deduktif dimulai dengan
suatu premis atau pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan. Kesimpulannya
merupakan implikasi dari premis. Jadi, yang terdapat dalam kesimpulan ternyata
sudah tersirat dalam pernyataan dasar. Proses deduksi tidak menghasilkan
pengetahuan baru, tetapi kesimpulan yang konsisten dengan pernyataan dasar,
misalnya:
Premis
Mayor : Manusia adalah makhluk berakal
budi.
Premis Minor : Bhama adalah seorang manusia.
Kesimpulan :
Sebab itu, Bhama adalah makhluk berakal budi.
D. Penalaran dalam Karangan
Suatu tulisan sebagai hasil proses
bernalar merupakan hasil proses deduksi, induksi, atau gabungan keduanya. Suatu
tulisan bersifat deduktif dibuka dengan suatu pernyataan umum kemudian
dikembangkan dengan pernyataan-pernyataan khusus. Sebaliknya, suatu tulisan
bersifat induktif dimulai dengan pernyataan-pernyataan khusus dan diakhiri
dengan suatu kesimpulan / pernyataan umum. Gabungan antara keduanya dimulai
dengan pernyataan umum yang diikuti dengan rincian-rincian dan akhirnya ditutup
dengan pengulangan pernyataan umum di atas. Wujud penalaran dalam karangan dapat dikaitkan dengan dua hal, yaitu urutan
pengembangan karangan (urutan logis) dan isi karangan.
1. Urutan Logis
Karangan merupakan suatu kesatuan,
sehingga harus dikembangkan dalam urutan yang sistematik, jelas, dan tegas.
Urutan itu dapat disusun berdasarkan waktu (kronologis), ruang (spasial), alur
penalaran (deduktif atau induktif), dan kepentingan.
2. Isi Karangan
Berdasarkan isi karangan, beberapa
penalaran yang diterapkan dalam suatu karangan adalah generalisasi dan
spesifikasi, klasifikasi, perbandingan dan pertentangan, hubungan kausal,
analogi, ramalan, dan gabungan.
E. Penalaran Ilmiah
Ada beberapa konsep yang berhubungan dengan penalaran, khususnya
penalaran ilmiah. Menurut John Dewey
dalam Akhadiah (1992: 55-56), proses ilmiah mencakup lima langkah pokok, yaitu
merumuskan masalah, menyusun kerangka berpikir, merumuskan hipotesis, menguji
hipotesis, dan menarik kesimpulan.
BAB IV
PENDAYAGUNAAN KATA
Persoalan pendayagunaaan kata adalah
persoalan mengelola kata agar memiliki kekuatan yang memiliki nilai guna dalam
berbahasa, dan hal yang menjadi pokok terpenting adalah pilihan kata (diksi). Membicarakan masalah pilihan kata (diksi)
memiliki sangkut-paut dengan dua hal, yaitu pemilihan kata dan pilihan kata itu
sendiri. Pemilihan kata adalah proses atau tindakan memilih kata yang dapat
mengungkapkan gagasan secara tepat, sedangkan pilihan kata adalah hasil dari
proses tindakan tersebut.
Dalam
kegiatan berbahasa, pilihan kata merupakan faktor yang sangat penting karena
pilihan kata yang tidak tepat, selain dapat menyebabkan ketidakefektifan bahasa
yang digunakan, juga dapat mengganggu kejelasan informasi yang disampaikan.
Kesalahpahaman informasi dan rusaknya situasi komunikasi juga tidak jarang
disebabkan oleh penggunaan pilihan kata yang tidak tepat.
Ketepatan gagasan, perasaan, dan
pikiran dalam berbahasa baik lisan maupun tulis dapat tercapai apabila pemakai
bahasa mampu memenuhi beberapa kriteria pemilihan kata. Kriteria-kriteria
tersebut adalah:
1.
ketepatan
2.
kesesuaian / keserasian
3.
kecermatan
Ketepatan
pemilihan kata berkaitan dengan kemampuan memilih kata yang dapat mengungkapkan
gagasan secara tepat dan gagasan itu dapat diterima secara tepat pula oleh
pembaca atau pendengarnya. Dengan
kata lain, ketepatan pilihan kata berkaitan dengan makna, sehingga sering
disebut sebagai aspek logika kata.
Kesesuaian pemilihan kata berhubungan
dengan kemampuan menggunakan kata-kata yang sesuai dengan konteks pemakaiannya.
Kesesuaian ini menyangkut kecocokan antara kata-kata dan kesempatan / situasi
kondisi, sehingga sering disebut sebagai aspek sosial kata.
Kriteria yang ketiga adalah kecermatan
pemilihan kata, hal ini berkaitan dengan kemampuan memilih kata yang memang
benar-benar diperlukan untuk mengungkapkan gagasan tertentu, sehingga dihindari
kemubaziran dalam berbahasa.
Ketiga kriteria di atas tidak bisa berdiri
sendiri tetapi saling berkaitan untuk mendapatkan pilihan kata yang tepat.
A. Ketepatan Pilihan Kata
Ketepatan pilihan kata mempersoalkan
kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada
imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan
oleh penulis atau pembicara. Menurut Widjono (2005: 87), penggunaan ketepatan
pilihan kata ini dipengaruhi oleh kemampuan pengguna bahasa yang terkait dengan
kemampuan mengetahui, memahami, menguasai, dan menggunakan sejumlah kosakata
secara aktif yang dapat mengungkapkan gagasan secara tepat, sehingga mampu
mengomunikasikannya secara efektif kepada pembaca atau pendengarnya. Kaya
kosakata memungkinkan penulis atau pembicara lebih bebas memilih kata yang
dianggap paling tepat mewakili pikirannya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai persyaratan ketepatan
pilihan kata. Persyaratan-persyaratan tersebut terurai dalam ulasan di bawah
ini.
1. Membedakan Makna Denotasi dan Konotasi dengan Cermat
Kata
denotasi adalah kata yang maknanya mengacu pada gagasan tertentu / makna dasar,
yang tidak mengandung nilai rasa tertentu atau makna tambahan, sedangkan kata
konotasi adalah kata yang maknanya merupakan makna tambahan yang mengandung
nilai rasa tertentu, di samping makna dasarnya, misalnya kata amplop bermakna denotasi ‘sampul surat’.
Akan tetapi, kata amplop akan
bermakna ‘uang suap’ jika ia sudah memiliki nilai rasa atau gambaran tambahan.
Contoh lain: (1) Mereka sedang bermain ping-pong. (denotasi)
(2)
Mereka sedang diping-pong oleh bagian
administrasi. (konotasi)
2. Membedakan secara Cermat Makna Kata yang Bersinonim atau Mirip
Kata-kata
bersinonim kerapkali tidak dapat saling menggantikan. Kata besar bersinonim dengan makro,
dan mayor, tetapi kita tidak
dapat menggantikan kata rumah besar
dengan rumah mayor.
3. Membedakan Makna Kata Homofon, Homograf, dan Homonim
Kelompok
kata homofon adalah kata-kata yang memiliki kesamaan bunyi tetapi berbeda
tulisan dan mempunyai arti yang sama sekali tidak berhubungan, misalnya bang ‘panggilan untuk laki-laki’ dan bank ‘badan usaha di bidang keuangan
yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat’.
Kelompok
kata homograf adalah kata-kata yang memiliki kesamaan tulisan tetapi berbeda
bunyi dan mempunyai arti yang sama sekali tidak berhubungan, misalnya sedan ‘suara tertahan-tahan seperti
orang yang lama menangis’ dan sedan ‘jenis
mobil’.
Kelompok
kata homonim adalah kata-kata yang memiliki kesamaan bunyi dan tulisan tetapi
mempunyai arti yang tidak berhubungan, misalnya buku ‘lembar kertas berjilid berisi tulisan atau kosong’ dan buku ‘bagian di antara dua ruas’.
4.
Menafsirkan Makna Kata secara Objektif
Jika pemahaman belum dipastikan, pemakai kata
harus menemukan makna kata yang tepat di dalam kamus. Penulis harus mencari
sumber yang menyimpan informasi yang diperlukan, karena penulis dianjurkan
untuk menghindari pendapat sendiri tanpa melihat sumber yang dipercaya
(subjektif).
5. Menggunakan Kata Asing dan Kata Serapan
dengan Tepat
Kata asing adalah kata-kata yang berasal dari
bahasa asing dan penggunaannya pun masih mempertahankan bentuk aslinya,
contohnya kata option. Adapun kata serapan
adalah kata-kata yang berasal dari bahasa asing, tetapi penggunaannya sudah
disesuaikan dengan struktur bahasa Indonesia. Menurut Anggarani (2006: 35), ada
beberapa proses penyesuaian dalam membentuk kata serapan, yaitu proses adopsi,
adaptasi, dan terjemahan. Kata koordinasi
merupakan salah satu contoh kata asing yang sudah mengalami adaptasi, dan
perlu diperhatikan penulisannya, yaitu bukan koordinir tetapi koordinasi.
Contoh yang lain, misalnya:
SALAH
|
BENAR
|
legalisir
|
legalisasi
|
manipulir
|
manipulasi
|
publisir
|
publikasi
|
politisir
|
politisasi
|
6. Menggunakan Kata-Kata Idiomatik dengan Benar
Idiomatik
yang dimaksud bukanlah peribahasa bukan pula frasa yang memiliki makna
menyimpang dari kaidah umum, namun penggunaan kata depan yang dilekatkan secara
idiomatik pada kata kerja tertentu. Dengan kata lain, sebuah kata harus dilekatkan berdasarkan susunan
(pasangan ) yang benar, misalnya berharap
akan, sesuai dengan, dan terdiri
atas.
7. Menggunakan Kata Umum dan Kata Khusus dengan Cermat
Perbedaan
kata umum dan kata khusus terletak pada ruang lingkupnya. Semakin luas ruang
lingkup suatu kata, semakin umum sifatnya. Begitu pula sebaliknya, semakin
sempit ruang lingkup suatu kata, semakin sempit sifatnya. Semakin umum suatu kata kemungkinan makin besar
risiko terjadi kesalahpahaman. Dapat dikatakan bahwa semakin khusus kata yang
dipakai, makin dekatlah penulis pada ketepatan pilihan kata. Meskipun demikian,
kata khusus kadang masih menimbulkan gambaran yang berbeda pada masing-masing
individu, karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman mengenai kata
tersebut. Ada beberapa hal
yang termasuk kata khusus, yaitu: nama diri, nama geografi, dan kata kata
indera.
HUBUNGAN LUAS
|
HUBUNGAN
KHUSUS
|
besar,
|
mayor
|
runcing
|
mancung
|
bergelombang
|
keriting
|
memasak
|
menanak
|
memotong
|
mengiris
|
campuran
|
ramuan
|
jatuh
|
tersungkur
|
8. Menggunakan Kata-Kata yang Mengalami Perubahan
Makna dengan Cermat
Terjadinya
perubahan makna suatu kata disebabkan oleh beberapa hal, yaitu perkembangan
IPTEKS, perkembangan sosial budaya, perbedaan bidang pemakaian, asosiasi,
pertukaran tanggapan indera, dan pengembangan istilah.
Macam-macam
perubahan makna:
a. Perluasan Arti
Perluasan
arti merupakan suatu proses perubahan makna yang dialami sebuah kata yang
sebelumnya mengandung suatu makna khusus, kemudian meluas dan melingkupi sebuah
kelas makna yang lebih umum.
KATA
|
MAKNA LAMA
|
MAKNA BARU
|
buah
|
pinang (pada beberapa bahasa daerah)
|
semua jenis
buah-buahan
|
bapak
|
sebutan yang
hanya dipakai untuk orang tua laki-laki yang masih memiliki hubungan
kekerabatan / darah dengan orang yang memanggil (anak)
|
semua orang
yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya
|
putera / puteri
|
sebutan yang hanya dipakai untuk anak-anak raja
|
semua anak laki-laki / semua anak perempuan
|
laksamana
|
nama orang, yaitu saudara Rama
|
pangkat tertinggi dalam kerajaan Melayu,
kemudian di pemerintahan RI mula-mula dipakai untuk menyebut jenjang
kepangkatan tertinggi AL dan AU, tetapi terakhir hanya untuk AL
|
b. Penyempitan Arti
Penyempitan arti merupakan sebuah proses
yang dialami suatu kata yang makna lama memiliki cakupan lebih luas daripada
makna baru.
KATA
|
MAKNA LAMA
|
MAKNA BARU
|
sarjana
|
sebutan untuk
semua cendekiawan
|
gelar
universitas
|
pala
|
buah pada
umumnya
|
sebutan untuk
buah tertentu
|
bau
|
sebutan untuk segala macam gas yang dapat
dicerap oleh indera penciuman
|
selalu
diartikan busuk (bau busuk)
|
c.
Ameliorasi
Ameliorasi adalah suatu proses
perubahan makna dengan arti baru yang dirasakan lebih tinggi atau lebih baik
nilainya daripada arti lama. Kata wanita
dirasakan lebih tinggi nilainya daripada kata perempuan; kata istri
juga dirasakan lebih tinggi daripada kata bini.
d. Peyorasi
Peyorasi adalah suatu proses
perubahan makna sebagai kebalikan dari ameliorasi, yaitu arti baru dirasakan
lebih rendah nilainya daripada arti lama. Peyorasi bertalian erat dengan sopan santun yang dituntut dalam kehidupan
bermasyarakat. Kata bunting dianggap
kurang sopan kemudian diganti dengan kata hamil
atau mengandung atau berbadan dua.
e.
Metafora
Metafora adalah perubahan makna dikarenakan persamaan sifat antara dua
objek. Ia merupakan pengalihan semantik berdasarkan kemiripan persepsi makna.
Kata raja siang (untuk matahari), putri malam (untuk bulan), empu laut (untuk pulau), dan lain-lain,
semuanya dibentuk berdasarkan metafora.
f. Metonimi
Metonimi
sebagai suatu proses perubahan makna terjadi karena hubungan yang erat antara
kata-kata yang terlibat dalam suatu lingkungan makna yang sama, dan dapat
diklasifikasi menurut tempat atau waktu, isi dan kulit, atau sebab dan akibat.
Penemuan-penemuan yang sering disebut menurut penemunya termasuk dalam gejala
ini, yaitu ohm, ampere, watt; demikian juga hasil produksi
disebut menurut tempatnya, yaitu eau de
cologne, Bordeaux, champagne, dan sebagainya.
9. Menggunakan Kata Abstrak dan Kata Konkret dengan Cermat
Kata
abstrak adalah kata yang mempunyai referen berupa konsep, sedangkan kata
konkret adalah kata yang mempunyai referen berupa objek yang dapat diamati.
Kata abstrak lebih sulit dipahami daripada kata konkret. Bandingkan kata-kata
seperti, meja, kursi, komputer, dan televisi, dengan kata-kata seperti, kemanusiaan, kepercayaan, kecerdasan,
dan demokrasi. Tulisan yang
mendeskripsikan suatu fakta akan lebih banyak menggunakan kata-kata konkret,
sedangkan tulisan yang banyak mengemukakan klasifikasi atau generalisasi akan
cenderung meggunakan kata-kata abstrak.
B. Kesesuaian Pilihan Kata
Kesesuaian dalam pilihan kata
berkaitan dengan pemilihan kata yang disesuaikan dengan konteks penggunaannya.
Konteks penggunaan dalam hal ini berkaitan dengan faktor kebahasaan dan faktor
nonkebahasaan.
Faktor-faktor kebahasaan yang
memengaruhi kesesuaian pemilihan kata, antara lain: hubungan makna antara kata
yang satu dengan kata yang lain dan kelaziman penggunaan kata-kata tertentu.
Faktor hubungan makna antara kata
yang satu dengan kata yang lain dalam sebuah kalimat dapat dilihat pada
penggunaan di mana yang kerap kali
digunakan dalam sebuah kalimat, misalnya:
(3) Ia sering berkunjung ke ISI Yogyakarta di mana ia dulu mendapatkan gelar
sarjana.
Berdasarkan konteksnya, penggunaan kata
penanya di mana pada kalimat di atas
tidak tepat, karena kata penanya harusnya digunakan pada kalimat tanya, padahal
kalimat di atas adalah kalimat berita yang tentu saja tidak memerlukan
kehadiran kata di mana. Dilihat dari
hubungan makna antarkata, kalimat di atas tidak memerlukan kata penanya.
Kalimat di atas akan menjadi lebih tepat jika diubah menjadi:
(3a) Ia sering berkunjung ke ISI
Yogyakarta tempat ia dulu mendapatkan
gelar sarjana.
Faktor kebahasaan yang kedua adalah kelaziman
penggunaan kata-kata. Yang dimaksud dengan kelaziman adalah kata yang sudah
biasa digunakan dalam komunikasi baik lisan maupun tulisan. Dengan kata lain,
kata yang lazim adalah kata yang sudah dikenal secara umum, sehingga
penggunaannya akan mempermudah pembaca atau pendengar. Oleh karena itu, untuk
mencegah ketidakjelasan pemahaman, penulis atau pembicara sebaiknya menghindari
kata-kata yang tidak lazim, misalnya kata jaksa
lazim digunakan bersama dengan kata agung,
tetapi tidak lazim digunakan bersama kata besar,
raya, atau akbar.
Kriteria
yang memengaruhi kesesuaian pilihan kata selain faktor kebahasaan adalah faktor
nonkebahasaan. Faktor nonkebahasaan adalah faktor-faktor yang ada di luar
masalah kebahasaan, antara lain situasi pembicaraan, lawan bicara, dan sarana
bicara.
Situasi
pembicaraan dalam hal ini menyangkut situasi resmi dan situasi tidak resmi.
Munculnya situasi resmi dan situasi tidak resmi tersebut sebenarnya juga
dipengaruhi oleh lawan bicara. Berbicara mengenai kedua situasi tersebut tidak
bisa lepas dari ragam bahasa, yaitu ragam bahasa baku dan tidak baku. Kebakuan yang dimaksud selain berkaitan
dengan pilihan kata, juga berkaitan dengan bentuk kata, ejaan, dan susunan
kalimat. Perhatikan beberapa contoh kata-kata baku dan tidak baku di bawah ini:
BAKU
|
TIDAK BAKU
|
analisis
|
analisa
|
biaya
|
beaya
|
diagnosis
|
diagnosa
|
fotokopi
|
foto copy
|
Jumat
|
Jum’at
|
kualitas
|
kwalitas
|
metode
|
metoda
|
objek
|
obyek
|
risiko
|
resiko
|
teknik
|
tehnik
|
Dalam situasi pemakaian bahasa
resmi, selain menggunakan ragam bahasa baku hendaknya menghindari kata-kata
jargon dan slang. Seperti dalam tulisan formal diusahakan
menghindari kata-kata yang termasuk jargon. Jargon merupakan kata-kata teknis
yang digunakan secara terbatas dalam bidang ilmu, profesi, atau kelompok
tertentu. Kata-kata ini
kerapkali berupa kata sandi / kode rahasia untuk kalangan tertentu, misalnya
dokter, militer, copet, sopir, dan perkumpulan rahasia.
Slang
adalah semacam kata percakapan, kata-kata nonstandar yang informal disusun
secara khas, atau kata-kata biasa yang diubah secara arbitrer, atau kata-kata kiasan yang khas, bertenaga, dan jenaka.
Kadangkala slang dihasilkan dari salah ucap yang disengaja atau kadangkala
berupa perusakan sebuah kata biasa untuk mendapatkan makna lain. Slang biasanya bersifat sementara, mudah
hilang karena akan muncul slang-slang yang baru. Contoh slang: asoy, bahenol, yuuuk!, baguus, dan
lain-lain.
Faktor
nonkebahasaan yang juga perlu diperhatikan adalah sarana. Yang dimaksud sarana
adalah lisan atau tulis. Untuk mencapai kesesuaian pilihan kata, harus bisa
dibedakan antara kata-kata yang digunakan dalam bahasa lisan dan bahasa tulis.
C. Kecermatan Pilihan Kata
Kecermatan pilihan kata berkaitan
dengan kemampuan memilih kata yang benar-benar diperlukan untuk mengungkapkan
gagasan. Oleh karena itu, pemakai bahasa harus cermat memahami kata-kata
mubazir yang kehadirannya tidak diperlukan dalam konteks. Ada beberapa penyebab
kemubaziran, antara lain:
1. Penggunaan Makna Jamak Ganda
Hal ini dapat dilihat dari contoh
kalimat:
(4) Sejumlah
desa-desa yang ada di Bantul mengalami rusak berat akibat gempa bumi 27 Mei
2006.
Sejumlah
dalam bahasa Indonesia sudah mengandung makna jamak, begitu juga halnya dengan
bentuk ulang desa-desa, sehingga
apabila keduanya digunakan bersama-sama menyebabkan kemubaziran. Kalimat di
atas lebih sesuai jika diubah menjadi:
(4a) Sejumlah desa yang ada di Bantul
mengalami rusak berat akibat gempa bumi 27 Mei 2006. Atau:
(4b) Desa-desa
yang ada di Bantul mengalami rusak berat akibar gempa bumi 27 Mei 2006.
2.
Penggunaan Kata yang Mempunyai Kemiripan Makna atau Fungsi secara Berganda
(5) Kita harus jeli mencari objek agar supaya dapat menghasilkan foto yang
menarik.
Kata agar dan supaya masing-masing mempunyai makna dan
fungsi yang mirip. Masing-masing bermakna menyatakan ‘tujuan’ atau ‘harapan’,
serta sama-sama berfungsi sebagai ungkapan penghubung. Agar tidak menimbulkan
kemubaziran, dari kedua kata itu cukup dipilih salah satu dalam penggunaannya.
(5a) Kita harus jeli mencari
objek agar dapat menghasilkan foto
yang menarik.
Atau
(5b) Kita harus jeli mencari objek supaya dapat menghasilkan foto yang menarik.
3. Penggunaan Makna Kesalingan Berganda
Makna kesalingan yang dimaksud
adalah makna yang menyatakan tindakan ‘berbalasan’, misalnya:
(6) Walaupun perjanjian gencatan senjata sudah
ditandatangani, saling tembak-menembak
antara kedua pihak tetap sulit dihindari.
Kata saling
dan bentuk ulang tembak-menembak
sama-sama menyatakan tindakan ‘berbalasan’. Oleh karena itu, penggunaan
keduanya secara bersama-sama menyebabkan kemubaziran, sehingga harus digunakan
salah satu.
(6a)
Walaupun perjanjian gencatan senjata sudah ditandatangani, saling tembak antara kedua pihak tetap sulit dihindari. Atau
(6b) Walaupun perjanjian gencatan senjata
sudah ditandatangani, saling menembak
antara kedua pihak tetap sulit dihindari. Atau
(6c) Walaupun perjanjian gencatan senjata
sudah ditandatangani, tembak-menembak
antara kedua pihak tetap sulit dihindari.
4. Konteks Kalimat
Konteks pemakaian merupakan penyebab
kemubaziran dengan jumlah terbanyak. Salah satu contohnya:
(7) Kursi ini terbuat daripada kayu.
Penggunaan daripada kalimat di atas tidak sesuai, karena daripada seharusnya digunakan untuk menyatakan perbandingan,
padahal kalimat di atas seharusnya menyatakan makna ‘asal’. Kalimat yang tepat
adalah:
(7a) Kursi ini
terbuat dari kayu.
Contoh
yang lain adalah penggunaan kata tentang,
di mana (seperti pada contoh 3), yang
mana, dan lain-lain.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecermatan pilihan kata dapat dicapai
jika pemakai bahasa mampu memahami perbedaan makna kata sinonim, denotasi dan
konotasi, serta kata-kata yang pemakaiannya mubazir.
BAB V
PENDAYAGUNAAN KALIMAT
Kalimat
merupakan suatu bentuk bahasa yang mencoba menyusun dan menuangkan
gagasan-gagasan seseorang secara terbuka untuk dikomunikasikan kepada orang
lain (Keraf, 2004: 38).
Menurut
Anggarani (2006: 1), penulisan kalimat yang digunakan dalam bahasa tulis
(karangan ilmiah) harus berupa ragam tulis baku. Kalimat ragam tulis baku
hendaknya berupa kalimat efektif, yaitu kalimat yang memenuhi kriteria jelas,
sesuai dengan kaidah, dan nyaman dibaca. Kalimat efektif adalah kalimat yang singkat, padat, jelas, lengkap, dan
dapat menyampaikan informasi secara tepat. Dengan kalimat efektif, komunikasi
penulis dan pembaca atau pembicara dan pendengar tidak akan menghadapi
keraguan, salah komunikasi, salah informasi, atau salah pengertian. Berikut
akan dibahas beberapa hal mengenai ciri-ciri kalimat efektif.
A. Kelengkapan
Kalimat yang efektif harus tersusun
sesuai dengan kaidah yang berlaku. Dari segi kaidah tata bahasa,
sekurang-kurangnya kalimat itu harus memiliki unsur subjek dan predikat
(Sugihastuti, 2000: 66).
(8) Dari pameran kali ini mengenalkan seniman-seniman muda
berbakat ke khalayak umum.
Kata depan dari yang terletak pada awal kalimat itu
dapat menghilangkan gagasan yang ingin disampaikan, karena dengan adanya kata
depan, subjek kalimatnya menjadi kabur. Pada kalimat di atas sebenarnya
memiliki subjek pameran kali ini,
namun didahului kata dari yang
menyebabkan informasi menjadi kabur. Agar kalimat di atas menjadi efektif, kata depan tersebut harus
dihilangkan, sehingga menjadi:
(8a) Pameran kali ini mengenalkan seniman-seniman muda berbakat
ke khalayak umum.
Perbaikan dengan cara lain dapat
dilakukan dengan tetap mempertahankan kata depan dari, hanya saja kata kerja mengenalkan
sebagai predikat harus dipasifkan, seperti:
(8a) Dari pameran kali ini dikenalkan seniman-seniman muda
berbakat ke khalayak umum.
B. Kesejajaran
Menurut Widjono (2005: 149),
kesejajaran adalah kesamaan bentuk kata yang digunakan secara konsisten,
misalnya: kesatuan, kemakmuran,
kedamaian, kesejahteraan; pertanian, perikanan, perkebunan, perdamaian; mengerjakan,
membawakan, menertawakan. Perhatikan contoh berikut:
(9) Proposal penelitian ini sudah lama diajukan, tetapi dosen
pembimbing belum menyetujuinya.
Kalimat di atas
akan menjadi efektif jika unsur-unsurnya disejajarkan.
(9a) Proposal penelitian ini sudah lama diajukan, tetapi belum
disetujui oleh dosen pembimbing.
(9b) Saya sudah lama mengajukan proposal penelitian ini,
tetapi dosen pembing belum menyetujuinya.
C. Kehematan
Pembicaraan
mengenai kehematan sudah kita ulas dalam materi pendayagunaan kata, khususnya
kecermatan yang membahas kemubaziran. Penulisan ilmiah diharapkan menghindari
sifat mubazir dalam penyusunannya, namun menekankan asas kehematan, prinsip
ekonomis kebahasaan.
D. Kepaduan
Kepaduan akan terlihat dalam penggunan kata penghubung, baik itu penghubung
intrakalimat maupun antarkalimat. Pemakaian penghubung intrakalimat yang kurang
tepat menyebabkan kalimat menjadi tidak efektif, tentu saja yang dimaksud di
sini adalah kalimat majemuk. Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri dari
dua klausa atau lebih, yang dari keduanya dihubungkan dengan kata penghubung.
Kalimat majemuk terdiri atas induk kalimat
dan anak kalimat. Perbedaan antara keduanya adalah adanya kata penghubung yang
ada di awal anak kalimat.
(10) Meskipun seniman itu belum terkenal, tetapi hasil karyanya sudah banyak.
Kalimat majemuk di atas tidak berinduk kalimat,
karena kedua klausanya berperan sebagai anak kalimat karena masing-masing di
awali kata penghubung. Kata penghubung sebaiknya tidak digunakan secara bersama-sama,
karena menimbulkan kerancuan. Oleh karena itu, kalimat tersebut seharusnya:
(10a) Meskipun seniman itu belum terkenal,
hasil karyanya sudah banyak. Atau,
(10b) Seniman itu belum terkenal, tetapi hasil karyanya sudah banyak.
E. Kevariasian
Kevariasian kalimat dapat dilakukan
dengan variasi struktur, diksi, dan gaya, asalkan variasi tersebut tidak
menimbulkan perubahan makna kalimat yang menimbulkan kesalahpahaman.
F. Ketepatan Pilihan Kata
Setiap kata harus mengungkapkan
pikiran secara tepat. Penulis harus membedakan kata sinonim, struktur
idiomatik, dan lain-lain. Hal ini sudah dibahas pada materi sebelumnya.
G. Ketepatan Ejaan
Kecermatan menggunakan ejaan dan
tanda baca dapat menentukan kualitas penyajian tulisan. Sebaliknya, kesalahan
ejaan dapat menimbulkan kesalahan komunikasi yang fatal.
BAB VI
PENDAYAGUNAAN PARAGRAF
Paragraf merupakan inti penuangan buah pikiran dalam sebuah karangan.
Unsur-unsur pembentuk paragraf adalah gagasan pokok, kalimat topik, dan kalimat
pendukung. Dengan kata lain, dalam paragraf terkandung satu unit buah pikiran
yang didukung oleh semua kalimat dalam paragraf tersebut, mulai dari kalimat
pengenal, kalimat utama atau kalimat topik, kalimat-kalimat penjelas sampai
pada kalimat penutup.
Kehadiran
paragraf dalam sebuah wacana mampu menandai munculnya topik baru atau mungkin
merupakan sebuah pengembangan lebih lanjut dari topik sebelumnya. Tanpa adanya
paragraf dalam sebuah buku, seolah pembaca dipaksa terus membaca tanpa ada jeda untuk istirahat,
akibatnya rasa kelelahan yang didapat. Dengan adanya paragraf, pada saat
membaca kita dapat berhenti sebentar, sehingga kita dapat memusatkan pikiran
tentang gagasan yang terkandung.
Selain
itu, paragraf berguna untuk menambah hal-hal yang penting atau memerinci apa yang
sudah diutarakan pada paragraf sebelumnya.
A. Jenis-Jenis Paragraf
Berdasarkan fungsi dan letaknya,
paragraf dapat dibedakan atas:
1. Paragraf Pembuka
Tiap jenis karangan akan mempunyai
paragraf yang membuka atau mengantar karangan, atau mengantar pokok pikiran
dalam bagian karangan itu, sehingga letaknya pun ada di awal tulisan. Artinya,
paragraf ini harus bisa berfungsi menjadi pengantar bagi pembaca menuju pokok
permasalahan yang akan diulas. Selain itu, paragraf ini harus ditampilkan
semenarik mungkin agar pembaca berminat untuk melanjutkan aktivitas membacanya
sampai akhir tulisan.
Ada beberapa teknik membuka sebuah
tulisan, di antaranya adalah memulai dengan anekdot (cerita menarik, aneh,
lucu), pertanyaan, fakta, statistik, kutipan, peribahasa, pengalaman, lagu /
puisi yang terkait dengan topik; memberi ulasan (preview) atas beberapa temuan dari orang-orang terdahulu; memulai
dengan pernyataan yang umum atau akrab dengan pembaca; dan menyatakan subtopik
atau rencana penulisan (Anggarani, 2006: 106).
2. Paragraf Penghubung
Yang dimaksud dengan paragraf
penghubung adalah semua paragraf yang terletak di antara paragraf pembuka dan
paragraf penutup. Inti persoalan yang akan dikemukakan penulis terdapat dalam
paragraf ini. Oleh karena itu, dalam membentuk paragraf-paragraf penghubung
harus diperhatikan agar hubungan antarparagraf tersusun secara teratur dan
logis.
Paragraf ini berisi inti persoalan
yang akan dikemukakan, sehingga biasanya terdiri atas lebih dari tiga paragraf.
Di bagian ini dikembangkan secara tuntas apa yang menjadi tujuan penulisan yang
telah diungkapkan di dalam bagian pendahuluan.
3. Paragraf Penutup
Paragraf penutup adalah paragraf
yang berfungsi untuk menutup atau mengakhiri sebuah tulisan atau karangan,
sehingga letaknya pun berada di bagian akhir. Paragraf ini mengandung kesimpulan dari apa yang telah diuraikan dalam
paragraf-paragraf penghubung.
Menurut
Anggarani (2006: 108-109), ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk menutup
sebuah tulisan, antara lain: meringkas hal-hal penting yang telah dibicarakan;
memarafrasekan gagasan pokok seluruh tulisan; menyajikan penafsiran isi
tulisan; memberi pendapat terhadap topik; memberi kesimpulan mengenai isi
tulisan; memberi kutipan, proyeksi permasalahan; memberi anjuran ke pembaca dan
prediksi; dan menyatakan pemecahan permasalahannya.
B. Persyaratan Pembentukan Paragraf
Dalam pengembangan paragraf, penulis
harus menyajikan gagasan menjadi suatu paragraf yang memenuhi persyaratan.
Persyaratan itu ialah kesatuan, kepaduan, dan kelengkapan.
1. Kesatuan
Setiap paragraf hanya mengandung
satu gagasan pokok atau topik, dan fungsi paragraf sendiri adalah mengembangkan
gagasan pokok tersebut. Paragraf dianggap mempunyai kesatuan, jika
kalimat-kalimat dalam paragraf itu tidak terlepas dari topiknya.
Contoh (11):
Sebaiknya konsumen memerhatikan tiga hal dalam
menyikapi iklan yang marak disiarkan di media cetak dan elektronik. Hal utama
yang harus dilakukan ialah bersikap bijaksana. Maksudnya, konsumen sebaiknya
tidak langsung percaya dengan apa yang dibaca atau didengar, tetapi bersikap
hati-hati dengan menggunakan akal sehat memikirkan apakah hal-hal yang
diiklankan tersebut masuk akal atau tidak. Selanjutnya, konsumen jangan
mencoba-coba semua produk yang diiklankan. Hal terakhir yang perlu diperhatikan
ialah menyadari kemampuan keuangan, apakah harga produk yang ditawarkan sesuai
dengan jumlah uang yang dimiliki. Sebaiknya konsumen menyesuaikan keinginan dengan
kebutuhan dan jangan membeli produk hanya karena ada diskon. Ini penting agar
konsumen tidak terjerat dengan sistem pembelian secara utang.
Paragraf di
atas sudah memenuhi persyaratan kesatuan, karena dalam satu kesatuan
paragrafnya tidak pernah melenceng dari gagasan pokoknya, yaitu cara-cara
menyikapi iklan di media cetak dan elektronik. Berbeda hal dengan
paragraf di bawah ini:
Contoh
(12):
Kebutuhan hidup
sehari-hari setiap keluarga dalam masyarakat tidaklah sama. Hal ini sangat
tergantung dari besarnya penghasilan setiap keluarga. Keluarga yang
berpenghasilan sangat rendah, kemungkinan mengalami kesulitan memenuhi
kebutuhan pokok. Lain halnya dengan keluarga yang berpenghasilan tinggi, mereka
dapat menyumbangkan sebagian penghasilannya untuk pembangunan tempat-tempat
ibadah atau kegiatan sosial lain. Tempat-tempat ibadah memang perlu bagi
masyarakat. Pada umumnya tempat-tempat ibadah ini dibangun secara
bergotong-royong dan mengandalkan sumbangan para dermawan.
Paragraf di
atas tidak dapat mempertahankan kesatuannya, karena ada gagasan lain yang
diungkapkan selain gagasan pokok. Gagasan pokoknya adalah kebutuhan hidup
sehari-hari, namun di akhir, membicarakan tentang tempat peribadatan.
2. Kepaduan
Urutan pikiran yang teratur menunjukkan adanya
kepaduan. Di samping itu, kepaduan dititikberatkan pada hubungan
antarkalimatnya, berkaitan atau tidak. Untuk memperoleh kepaduan yang baik
antarkalimat, paragraf harus memerhatikan masalah kebahasaan dan pemerincian
atau urutan isi paragraf.
Pertama,
yang perlu diperhatikan adalah permasalahan kebahasaan. Masalah kebahasaan ini
terdiri atas repetisi, kata ganti, dan kata transisi.
a. Repetisi
Kepaduan sebuah paragraf
dapat diamankan dengan mengulang kata-kata kunci, yaitu kata-kata yang dianggap
penting dalam paragraf.
Contoh (13):
Dalam mengajarkan
sesuatu, langkah pertama yang perlu kita lakukan ialah menentukan tujuan pengajaran. Tanpa adanya tujuan yang sudah ditetapkan, materi
yang kita berikan, metode yang kita gunakan, dan evaluasi yang kita susun,
tidak akan banyak memberikan manfaat bagi anak didik dalam menerapkan hasil
pembelajaran. Dengan mengetahui tujuan pengajaran,
kita dapat menentukan materi yang akan kita ajarkan, metode yang akan kita
gunakan, serta bentuk evaluasinya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Paragraf di atas menggunakan
teknik repetisi, yaitu dengan mengulang kata tujuan.
b. Kata Ganti
Untuk menghindari segi-segi negatif dari pengulangan
kata, setiap bahasa di dunia ini memiliki sebuah alat yang dinamakan kata
ganti. Kata ganti itu timbul untuk menghindari pengulangan kata (yang disebut anteseden) dalam kalimat-kalimat
berikutnya.
Contoh (14):
Perkuliahan Bahasa Indonesia seringkali sangat
membosankan sehingga tidak mendapat perhatian sama sekali dari mahasiswa. Hal ini disebabkan bahan kuliah yang
disajikan dosen sebenarnya merupakan masalah yang sudah diketahui oleh
mahasiswa atau merupakan masalah yang tidak diperlukan mahasiswa. Di samping itu, mahasiswa yang sudah
mempelajari bahasa Indonesia sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar atau sekurang-kurangnya sudah
mempelajarinya selama dua belas tahun, mereka sudah mampu menggunakan bahasa
Indonesia. Akibatnya, memilih atau
menentukan bahan kuliah yang akan diberikan kepada mahasiswa, merupakan
kesulitan tersendiri bagi para pengajar bahasa Indonesia.
Hal ini dalam paragraf di atas
berfungsi menggantikan perkuliahan Bahasa
Indonesia seringkali sangat membosankan.
c. Kata Transisi
Kata transisi berfungsi
di antara repetisi dan kata ganti. Repetisi menghendaki pengulangan kata-kata
kunci, sebaliknya kata ganti tidak menghendaki pengulangan sebuah kata. Untuk
itu, kata transisi digunakan sebagai jalan tengah.
Hubungan antara
gagasan-gagasan terkadang agak sulit dirumuskan. Oleh karena itu, diperlukan
bantuan, dalam hal ini bantuan kata-kata atau frasa-frasa transisi sebagai
penghubung antara klausa dengan klausa (intrakalimat), kalimat dengan kalimat
(antarkalimat), dan paragraf dengan paragraf (antarparagraf). Ada
bermacam-macam kata atau frasa transisi yang bisa dipergunakan dalam
tulisan-tulisan ilmiah sesuai dengan jenis hubungannya, di antaranya adalah:
1) Hubungan
yang menyatakan tambahan kepada sesuatu yang telah disebut sebelumnya: lebih lagi, tambahan (pula), selanjutnya, di
samping itu, lalu, seperti halnya, juga, lagi (pula), berikutnya, kedua,
akhirnya, tambahan lagi, demikian juga.
2) Hubungan
yang menyatakan pertentangan dengan sesuatu yang telah disebut lebih dahulu: tetapi, namun, bagaimanapun juga, walaupun
demikian, sebaliknya, sama sekali tidak, biarpun, meskipun.
3) Hubungan
yang menyatakan perbandingan: sama
halnya, seperti, dalam hal yang sama, dalam hal yang demikian, sebagaimana.
4) Hubungan
yang menyatakan akibat atau hasil: sebab
itu, oleh sebab itu, oleh karena itu, jadi, maka, akibatnya.
5) Hubungan
yang menyatakan tujuan: untuk maksud itu,
untuk maksud tersebut, supaya.
6) Hubungan
yang menyatakan singkatan, contoh, intensifikasi: singkatnya, ringkasnya, secara singkat, pendeknya, pada umumnya,
seperti sudah dikatakan, dengan kata lain, misalnya, yakni, yaitu,
sesungguhnya.
7) Hubungan
yang menyatakan waktu: sementara itu,
segera, beberapa saat kemudian, sesudah,
kemudian.
8)
Hubungan
yang menyatakan tempat: di sini, di situ,
dekat, di seberang, berdekatan dengan, berdampingan dengan.
Paragraf pada contoh (14) menggunakan beberapa kata
transisi, yaitu di samping itu yang
menyatakan hubungan tambahan kepada sesuatu yang telah disebut sebelumnya dan akibatnya yang menyatakan hubungan
akibat.
Kedua, permasalahan yang perlu
diperhatikan adalah pemerincian dan urutan isi paragraf. Yang dimaksud dengan
pemerincian dan urutan isi paragraf adalah bagaimana pengembangan sebuah
gagasan utama dan bagaimana hubungan antara gagasan-gagasan bawahan yang
menunjang gagasan utama tadi. Penulis dapat menjamin kepaduan dengan
mengemukakan perincian isi berdasarkan urutan ruang (spasial), urutan waktu
(kronologis), urutan logis (sebab-akibat, akibat-sebab, umum-khusus,
khusus-umum), urutan proses, atau sudut pandang satu ke sudut pandang yang
lain.
3. Kelengkapan
Menurut Akhadiah (1992: 152), suatu
paragraf dikatakan lengkap, jika berisi kalimat-kalimat perincian yang cukup
untuk menunjang kejelasan kalimat topik atau kalimat utama. Sebaliknya, suatu
paragraf dikatakan tidak lengkap, jika tidak dikembangkan atau hanya diperluas
dengan pengulangan-pengulangan.
Contoh (15):
Masyarakat Yogyakarta
cenderung memanfaatkan akhir pekan dengan pergi ke luar kota. Mereka jarang
menghabiskan waktu liburnya di rumah.
Paragraf
di atas merupakan contoh paragraf yang hanya diperluas dengan pengulangan. Kalimat kedua mengandung pengertian yang
sama dengan kalimat pertama hanya saja menggunakan kata berkebalikan.
C.
Pengembangan Paragraf
Dalam
mengembangkan paragraf, ada beberapa metode pengembangan paragraf, yaitu:
1. Secara
Alamiah
Pengembangan
paragraf secara alamiah terdiri atas dua cara, yaitu urutan ruang (spasial) dan
urutan waktu (kronologis).
2.Klimaks-Antiklimaks
Gagasan
utama mula-mula diperinci dengan sebuah gagasan bawahan yang dianggap paling
rendah kedudukannya, kemudian berangsur-angsur menuju ke gagasan lain hingga ke
gagasan yang paling tinggi kedudukannya atau kepentingannya. Hal itulah yang
disebut dengan klimaks, sedangkan variasinya adalah antiklimaks, pengembangan
paragraf dengan cara berlawanan dari klimaks.
3. Secara
Logis
Pengembangan
paragraf secara logis dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya
pemaparan sebab-akibat, akibat-sebab, umum-khusus, dan khusus-umum.
Contoh (16):
Semalam hujan turun
dengan deras, membasahi baju seragam mengajar Bu Ida. Pagi ini Bu Ida baru
menyadari bahwa ia lupa mengangkat seragamnya dari jemuran, padahal itu seragam
satu-satunya dan ia wajib menggunakannya untuk mengajar. Akhirnya, Bu Ida
memutuskan untuk tidak mengajar saja hari ini karena takut dimarahi atasannya
jika tidak memakai seragam. Akibatnya, Bu Ida tidak datang. Mahasiswa yang
menunggu kuliah pun pulang satu per satu.
Paragraf di
atas menggunakan metode pengembangan sebab-akibat, sedangkan contoh paragraf di
bawah adalah metode pengembangan kebalikannya, yaitu akibat-sebab.
Contoh (17):
Hari ini aku terlambat
lagi, bukan karena terlambat bangun atau terlalu lama bermalas-malasan di
rumah. Hari ini aku terlambat lagi karena bus yang aku tumpangi pecah bannya.
Pengembangan
paragraf umum-khusus dan khusus-umum merupakan cara yang paling sering
digunakan.
Contoh (18):
Ada tiga
tahap yang dilakukan untuk membentuk sebuah portofolio. Tahap pertama ialah membentuk Daftar Kebijakan Investasi. Dalam
tahap ini ditentukan tujuan investasi dan batasan investasi, termasuk risiko
yang dapat ditoleransi oleh investor serta tingkat pengembalian yang diinginkan.
Tahap selanjutnya ialah mempelajari
kondisi keuangan dan ekonomi saat ini serta berusaha meramalkan kecenderungan
di masa datang. Ini penting untuk menentukan hidup matinya sebuah perusahaan. Tahap terakhir ialah tahap implementasi
perencanaan pembentukan portofolio.
Contoh paragraf di atas dikembangkan
dengan metode pemaparan umum-khusus. Dengan cara ini, gagasan utama diletakkan
pada awal paragraf dan diikuti dengan gagasan-gagasan penjelasnya. Paragraf
yang terbentuk biasanya disebut sebagai paragraf deduktif, paragraf yang banyak
dipakai dalam tulisan-tulisan ilmiah.
Berbeda halnya dengan contoh (19) di bawah ini. Paragraf ini dikembangkan
dengan metode pengembangan khusus-umum, sehingga gagasan utama diletakkan di
akhir paragraf sesudah gagasan-gagasan penjelasnya. Paragraf seperti ini
biasa disebut paragraf induktif.
Contoh (19):
Dokumen-dokumen dan keputusan-keputusan serta
surat-menyurat yang dikeluarkan pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya
ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato terutama pidato kenegaraan, ditulis dan
diucapkan dalam bahasa Indonesia. Hanya dalam keadaan tertentu, demi
kepentingan komunikasi antarbangsa kadang-kadang pidato resmi ditulis dan
diucapkan dalam bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Demikian juga pemakaian
bahasa Indonesia dilakukan masyarakat dalam upacara, peristiwa dan kegiatan
kenegaraan. Dengan kata lain, komunikasi
timbal balik antarpemerintah dan masyarakat berlangsung dengan menggunakan
bahasa Indonesia.
4. Perbandingan / Pertentangan
Penulis berusaha membandingkan atau
mempertentangkan dengan cara menunjukkan persamaan dan perbedaan antara dua
hal.
5. Analogi
Analogi digunakan untuk
membandingkan sesuatu yang sudah dikenal umum dengan yang belum atau kurang
dikenal umum. Kegunaannya untuk membantu kejelasan dari apa yang ingin
dipaparkan penulis.
6. Proses / Langkah-Langkah
Paragraf ini berusaha memaparkan
langkah-langkah atau suatu proses tentang sesuatu hal. Jadi, memaparkan
berdasarkan urutan prosesnya. Contoh mengenai paragraf ini dapat dilihat pada
contoh (18), yang ditandai dengan tahap
pertama, tahap selanjutnya, dan tahap terakhir.
7. Contoh-Contoh
Sebuah generalisasi yang terlalu
umum sifatnya agar dapat memberikan penjelasan kepada pembaca, kadang-kadang
memerlukan contoh-contoh konkret.
8. Definisi Luas
Untuk memberikan batasan tentang
sesuatu, penulis harus menguraikan dengan beberapa kalimat, bahkan beberapa
paragraf. Hal ini dapat dipelajari dalam hal definisi.
9. Klasifikasi
Dalam pengembangan paragraf,
kadang-kadang kita mengelompokkan hal-hal yang mempunyai persamaan.
Pengelompokan ini biasanya diperinci lagi ke dalam kelompok-kelompok yang lebih
kecil.
Contoh (20):
Dalam karang-mengarang
atau tulis-menulis, dituntut beberapa kemampuan, antara lain kemampuan yang
berhubungan dengan kebahasaan dan kemampuan pengembangan atau penyajian. Yang termasuk kemampuan
kebahasaan ialah kemampuan menerapkan ejaan, pungtuasi, kosakata, diksi, dan
kalimat. Sedangakan, yang dimaksud dengan kemampuan pengembangan ialah
kemampuan menata paragraf, kemampuan membedakan pokok bahasan, subpokok
bahasan, dan kemampuan membagi pokok bahasan dalam urutan yang sistematik.
Paragraf di atas
menjelaskan kemampuan yang dituntut dalam tulis-menulis dikelompokkan menjadi
dua bagian, kemudian tiap bagian diperinci lagi.
BAB VII
TEMA KARANGAN
A. Pengertian Tema
Menurut
arti katanya tema berarti “sesuatu yang telah diuraikan”, atau “sesuatu yang
telah ditempatkan”. Kata ini berasal dari kata Yunani tithenai yang berarti ‘menempatkan’ atau ‘meletakkan’. Dalam
kehidupan sehari-hari, kata tema sering dikacaukan pula pemakaiannya dengan
istilah topik. Kata topik juga
berasal dari Yunani topoi yang
berarti tempat (Keraf, 2004: 121).
Pengertian
tema, secara khusus dalam karang-mengarang dapat dilihat dari dua sudut, yaitu
sudut proses penyusunan sebuah karangan dan sudut karangan yang telah selesai.
Dilihat dari sudut proses penyusunan sebuah karangan, tema dapat dibatasi
sebagai suatu perumusan dari topik yang akan dijadikan landasan pembicaraan dan
tujuan yang akan dicapai melalui topik tadi. Jika dilihat dari sudut sebuah
karangan yang telah selesai, tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan
oleh penulis melalui karangannya.
B. Pemilihan Topik
Dalam merumuskan tema, topik atau
pokok pembicaraan merupakan masalah yang dihadapi penulis. Pemilihan topik
seringkali menjadi suatu beban bagi penulis pemula, karena mereka akan
kesulitan menentukan topik apa yang akan digunakan dalam penyusunan karangan.
Sebenarnya segala hal yang menarik
perhatian kita, bisa dijadikan topik suatu karangan. Memilih topik yang baik
harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu topik merupakan hasil ketertarikan
penulis, topik merupakan hal yang sudah dikuasai penulis, dan topik merupakan
hal yang tidak terlalu baru, terlalu teknis, dan terlalu konvensional.
C. Pembatasan Topik
Setiap penulis harus yakin bahwa
topik yang dipilihnya harus cukup sempit dan terbatas atau sangat khusus untuk
dikerjakan. Ada beberapa tujuan pembatasan topik, yaitu:
1.
meyakinkan penulis agar menulis dengan penuh keyakinan
dan kepercayaan, karena pokok itu benar-benar sudah diketahui;
2.
meyakinkan penulis untuk mengadakan penelitian yang
lebih intensif mengenai masalahnya; dan
3.
memudahkan penulis untuk memilih hal-hal yang mudah
dikembangkan.
Membatasi
sebuah topik dapat dilakukan dengan mempergunakan cara berikut:
1.
Tetapkanlah topik yang ingin digarap dalam suatu
kedudukan sentral.
2.
Ajukan pertanyaan, apakah topik yang berada dalam
kedudukan sentral itu masih dapat diperinci lebih lanjut. Bila dapat, tempatkanlah
perinciannya itu di sekitar lingkaran topik pertama tadi.
3.
Tetapkanlah mana dari perincian tadi yang akan dipilih.
4.
Ajukan pertanyaan, apakah sektor tadi masih perlu
diperinci lebih lanjut. Demikian dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh
sebuah topik yang sangat khusus yang akan digarap lebih lanjut.
D. Penentuan Maksud
Pembatasan topik belum tentu secara
langsung dapat membatasi maksud penulis. Oleh sebab itu, penulis harus menetapkan pula maksud pengerjaan topik
tersebut. Pembatasan maksud merupakan sebuah rancangan menyeluruh yang
memungkinkan penulis bergerak bebas dalam batas-batas tadi, seperti halnya
dengan pembatasan topik. Pembatasan maksud juga akan menentukan bahan mana yang
diperlukan, serta cara mana yang paling baik bagi penyusun karangan itu.
E. Tesis dan Pengungkapan Maksud
Penyusunan sebuah kerangka karangan
diperlukan perumusan tema yang berbentuk kalimat. Perumusan singkatan yang
mengandung tema dasar dari sebuah karangan disebut tesis, bila ada satu gagasan
sentral yang menonjol. Bila tulisan itu tidak menonjolkan suatu gagasan utama,
dalam bentuk singkatnya dapat dinyatakan dalam sebuah penjelasan tentang apa
yang ingin disampaikan. Perumusan
singkat ini yang menekankan tema dasarnya disebut pengungkapan maksud.
F. Tema yang Baik
Selain
dari sifat terbatas dan ketetapan perumusan, ada beberapa persyaratan yang
perlu diperhatikan untuk menyusun sebuah tema yang baik. Syarat-syarat tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Kejelasan
Kejelasan dapat dilihat melalui:
a. Gagasan sentralnya. Kalau gagasan
sentralnya jelas, tema tentu dapat dirumuskan dalam sebuah kalimat yang jelas.
b.
Subordinasi atau perincian-perinciannya. Bila ada satu
atau lebih perincian yang tidak memperlihatkan hubungan yang jelas, tema akan
menjadi kabur, walaupun tesis atau pengungkapan maksudnya telah dirumuskan
dengan baik. Perincian-perincian
paling kecil dapat dilihat dalam struktur kalimat-kalimatnya. Struktur
kalimat harus matang dan bervariasi.
2. Kesatuan
Kesatuan dilihat dari adanya
satuan-satuan gagasan sentral yang menjadi landasan seluruh karangan.
3. Perkembangan
Perkembangan sebuah tema dapat
dilihat dari dua sudut, yaitu:
a.
Apakah tesis atau pengungkapan maksud sudah diperinci
secara maksimal untuk membuat tema itu menjadi jelas.
b. Apakah perincian-perincian itu sudah
diurutkan dalam suatu urutan yang teratur dan logis.
4. Keaslian
Tema yang baik harus mengandung keaslian atau originalitas. Keaslian dapat
diukur dari beberapa sudut, yakni pilihan pokok persoalan, sudut pandang,
pendekatan, rangkaian kalimat-kalimat, pilihan kata, dan sebagainya.
Keaslian
atau originalitas harus diartikan bahwa sebuah karangan telah dikerjakan dalam
batas-batas selera yang baik, sehingga menimbulkan kesegaran dan tidak
menjemukan.
G. Judul yang Cocok
Akan lebih baik menunggu pengerjaan
tema hingga selesai, kemudian baru mencari sebuah judul yang tepat sehingga
terjamin bahwa judul itu cocok atau sesuai dengan tema. Akan tetapi, hal itu
tidak mengikat karena setiap orang memiliki gaya sendiri-sendiri. Sebuah judul
yang baik akan merangsang perhatian pembaca dan cocok pula dengan temanya.
BAB VIII
MENULIS WACANA
A. Pengertian dan Jenis Wacana
Wacana (discourse) merupakan tataran paling tinggi dalam hierarki
kebahasaan, bukan hanya sekedar kumpulan kalimat-kalimat yang tidak beraturan,
tetapi satuan kebahasaan yang terdiri atas kalimat-kalimat yang tertata secara
berkesinambungan membentuk satu kesatuan yang padu dan utuh. Kata, kalimat, dan
paragraf yang membentuknya dapat dimaknai sesuai dengan koteks dan konteksnya,
karena kesatuan wacana tersebut terkandung amanat yang harus disampaikan ke
pembaca. Tambahan pula, wacana merupakan kumpulan paragraf yang memiliki sebuah
konsep utuh dengan pemahaman yang utuh pula.
Wacana dapat diklasifikasikan, antara lain, menurut media, tujuan
pemaparan, dan derajat keilmiahan. Menurut media, wacana dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan jelas disampaikan
secara lisan oleh pembicara kepada pendengarnya, sehingga apabila terjadi kekeliruan,
kesalahpahaman, atau ketidakjelasan, langsung bisa dilaksanakan komunikasi dua
arah, dengan tujuan untuk meluruskan komunikasi. Contoh wacana lisan adalah
percakapan, kuliah, ceramah, pidato, dan lain-lain. Sedangkan, wacana tulis
menggunakan media tulis dalam berkomunikasi antara penulis dan pembaca, seperti
surat-menyurat, cerita pendek, novel, makalah, laporan, dan skripsi. Karena
dalam wacana tulis tidak terjadi komunikasi langsung, kesalahan dan
ketidakjelasan tidak bisa langsung dibahas antara pembaca dan penulis. Untuk
itu, wacana tulis memiliki tingkat kecermatan lebih tinggi dalam kaidah
kebahasaan dibandingkan wacana lisan.
Menurut tujuan pemaparannya, wacana dapat
dibedakan menjadi wacana narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan
persuasi.
1. Narasi
Wacana narasi berusaha mengisahkan suatu peristiwa atau kejadian secara
kronologis. Beberapa tulisan yang terbiasa menggunakan wacana narasi adalah
biografi, roman, novel, sejarah, dan sebagainya.
2. Deskripsi
Wacana
deskripsi berusaha untuk menggambarkan sesuatu hal sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya, misalnya keadaan kota Yogyakarta dan pantai Parangtritis. Deskripsi
bertalian dengan pelukisan pancaindera terhadap sebuah objek.
3. Eksposisi
Wacana eksposisi bertujuan untuk memberi
penjelasan atau informasi. Tulisan eksposisi menerangkan proses: bagaimana
menata ruang, membuat aksesoris dari logam, membuat sebuah iklan televisi, dan
lain-lain.
4. Argumentasi
Wacana argumentasi sebenarnya
termasuk dalam eksposisi, hanya sifatnya yang jauh lebih sulit karena harus
mengajukan alasan-alasan, dan pembuktian-pembuktian. Tipe ini termasuk
analisis, baik yang menyangkut pemecahan suatu pokok persoalan atas
bagian-bagiannya maupun penggabungan masalah-masalah yang terpisah menjadi suatu
klasifikasi yang lebih luas. Yang hampir sama dengan wacana ini adalah wacana
eksposisi yang menguraikan pendapat atau pikiran penulis tentang suatu
persoalan.
5. Persuasi
Persuasi sebenarnya termasuk dalam
argumentasi hanya sifatnya lebih ke arah mengajak pembaca agar mengikuti
himbauan atau keinginan penulis.
Menurut kadar ilmiahnya, wacana
dikelompokkan dalam wacana ilmiah dan wacana nonilmiah. Wacana yang pertama
berkaitan dengan keperluan akademis dan biasa disebut sebagai wacana ilmiah,
misalnya makalah, skripsi, tesis, dan disertasi, sedangkan wacana nonilmiah
misalnya, artikel yang ada di berbagai media cetak.
B. Wacana Ilmiah
Yang dituntut terampil menulis
wacana ilmiah adalah para akademisi yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.
Keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan menulis ilmiah seperti makalah.
Ciri khas wacana ilmiah adalah
bahasanya yang formal dan disusun secara logis dan sistematis. Penulisan yang
logis berarti substansi tulisan benar-benar dikuasai dan dapat disampaikan secara
benar dan tepat, sedangkan penulisan yang sistematis berarti tulisan
disampaikan secara runtut.
Dalam membuat sebuah wacana ilmiah,
penulis harus memiliki pengetahuan atau latar belakang informasi yang luas,
kepekaan terhadap suatu masalah, dan pengetahuan kode etik penulisan ilmiah.
1. Tahap Penulisan Ilmiah
Secara garis besar penulisan ilmiah
memiliki langkah-langkah yang relatif sama, meskipun setiap orang memiliki gaya
masing-masing. Menurut Syihabuddin (2006: 5-6), ada beberapa langkah-langkah menulis
ilmiah, yaitu:
a.
merencanakan (mengumpulkan bahan, menentukan tujuan dan
bentuk tulisan, dan menentukan pembaca);
b. menulis (menyusun draf secara
keseluruhan);
c.
merefleksikan
(apakah sudah memenuhi tujuan? Apakah sudah sesuai dengan pembaca? Apakah
sudah menginformasikan pesan secara cermat?); kemudian
d. Merevisi (kebenaran gagasan, kebahasaan,
kejelasan, kewajaran).
Beberapa
wacana ilmiah yang sering dikerjakan oleh para akademisi pendidikan, selain
skripsi dan disertasi, misalnya makalah, proposal penelitian, dan laporan.
Selanjutnya akan dibahas mengenai makalah, sebagai salah satu jenis wacana
ilmiah yang paling sering digunakan mahasiswa dalam setiap perkuliahan.
2. Menulis Makalah
Makalah adalah karya tulis ilmiah
yang berisi tentang suatu topik tertentu yang tercakup dalam ruang lingkup
suatu perkuliahan atau yang berkaitan dengan suatu tema seminar, simposium,
diskusi, atau kegiatan ilmiah lain. Makalah ditulis untuk berbagai macam
fungsi, di antaranya memenuhi tugas mata kuliah, menjelaskan suatu kebijakan,
dan menginformasikan suatu penemuan.
Menurut Syihabuddin (2006: 7),
secara umum, dikenal dua jenis makalah, yakni makalah biasa (common paper) dan makalah posisi (position paper).
Mahasiswa membuat makalah biasa
untuk menunjukkan pemahamannya terhadap permasalahan yang dibahas. Di dalam
makalah biasa, mahasiswa mengemukakan berbagai pandangan tentang permasalahan
yang dikaji disertai dengan pendapat baik kritik ataupun saran tanpa memihak
salah satu pandangan tersebut. Di samping itu, makalah biasa dapat digunakan
untuk menulis kebijakan, gagasan, atau temuan. Pada umumnya, makalah biasa
diwajibkan bagi mahasiswa S1 (sarjana).
Dalam makalah posisi, mahasiswa
sudah dituntut untuk menunjukkan berbagai pandangan atau teori, tetapi harus
mampu memberi penjelasan bahwa dia berada di posisi pandangan yang mana,
disertai dengan alasan yang didukung dengan data relevan. Oleh sebab itu,
mahasiswa harus mempelajari berbagai pandangan yang berbeda-beda, bahkan
bertentangan, sehingga dia mampu memosisikan dirinya akan berpihak pada
pandangan tertentu. Jadi, kemampuan
analisis, sintesis, dan evaluasi sangat diperlukan untuk membuat makalah
posisi. Makalah ini diwajibkan kepada mahasiswa S2 (pascasarjana).
a. Sistematika Penulisan Makalah
Makalah biasanya disusun dengan
sistematika:
(1) Judul
Judul merupakan nama sebuah karangan. Judul sebaiknya memberi gambaran
tentang masalah secara jelas, menarik perhatian pembaca, dan menciptakan
keingintahuan pembaca akan isi keseluruhan tulisan. Yang perlu diperhatikan
dalam pemilihan judul adalah menggambarkan isi, singkat dan jelas, berupa frasa
atau klausa, dan menarik.
(2) Abstrak
Abstrak berisi intisari keseluruhan tulisan. Abstrak ditulis secara naratif dan diketik satu
spasi, sekitar tiga paragraf. Abstrak memuat latar belakang masalah, tujuan,
kesimpulan, dan saran yang ditulis secara padat.
(3) Pendahuluan
Pendahuluan terdiri atas latar
belakang masalah yang disusun secara logis. Penulis mengutarakan
alasan-alasannya memilih tema yang diangkat. Bagian ini memiliki tanggung jawab
untuk mengantarkan pembaca menuju arah pembicaraan yang akan diulas, sehingga
penulis harus mampu memberikan tulisan yang menarik agar pembaca memyimpan
keingintahuan yang tinggi terhadap tulisan tersebut.
(4) Pembahasan
Bagian ini merupakan inti makalah. Deskripsi tentang subjek studi, analisis
permasalahan, dan pemecahan masalah ada di bagian pembahasan. Penulis hendaknya menggunakan teori, data,
atau pandangan ahli untuk mendukung analisisnya.
(5) Kesimpulan
Secara umum, kesimpulan berisi hasil
dari seluruh pembahasan dan setidak-tidaknya berisi jawaban atas semua
permasalahan yang dikemukakan dalam pendahuluan.
(6) Daftar Pustaka
Bagian ini memuat semua sumber yang
diacu, berupa buku, jurnal, dan lain-lain. Pustaka disusun ke bawah berdasarkan
abjad nama penulis yang sudah dibalik. Untuk buku, teknik penulisan daftar
pustaka sebagai berikut: nama penulis, tahun terbit, judul buku, jilid (jika
ada), terbitan ke-, nama kota, dan nama penerbit, contohnya:
Sugono,
Dendy.1994. Berbahasa Indonesia dengan
Benar. Jakarta: Puspa Swara.
Sebenarnya masih ada tipe penulisan
daftar pustaka yang berbeda urutan dengan contoh di atas. Namun demikian, hal
itu bukan menjadi suatu permasalahan. Yang terpenting adalah penulis
menggunakannya secara konsisten, artinya dia mengikuti tipe tertentu dan tidak
berubah-ubah penggunaannya.
b. Langkah-Langkah Penulisan Makalah
Ada beberapa langkah yang bisa
dilakukan dalam menulis makalah, yakni:
1)
menentukan dan membatasi topik;
2) membuat kerangka dan mengumpulkan bahan;
3) membaca pustaka dan menentukan
bagian-bagian penting yang akan dirujuk;
4)
menulis draf makalah;
5)
menyunting sendiri draft makalah; dan
6)
menyempurnakan makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Akhadiah, Sabarti,
Maidar G. Arsjad, dan Sakura H. Ridwan. 1992. Pembinaan Kemampuan Menulis
Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Anggarani, Asih, Sri Hapsari Wijayanti, Ika Endang Sri H.,
dan Amalia Candrayani. 2006. Mengasah
Keterampilan Menulis Ilmiah di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hs., Widjono. 2005. Bahasa
Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: Gramedia.
Keraf, Gorys.
1985. Deskripsi dan Eksposisi. Ende
Flores: Nusa Indah.
----------------. 1991. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia.
----------------. 2001. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
-----------------. 2004. Komposisi. Ende Flores: Nusa Indah.
Poerwadarminta,
W.J.S. 1979. Bahasa Indonesia untuk
Karang-Mengarang. Yogyakarta: UP Karyono.
Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa. 1993. Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah. Jakarta: Balai Pustaka.
Sugihastuti. 2000.
Bahasa Laporan Penelitian. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sugono, Dendy.
1994. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta:
Puspa Swara.
Syihabuddin. 2006.
“Ihwal Menulis Akademik dalam MPK Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi”. Pelatihan
Nasional Dosen Bahasa Indonesia Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
di Perguruan Tinggi.
Widyamartaya, A.
1990. Seni Menggayakan Kalimat. Yogyakarta:
Kanisius.