Senin, 23 Februari 2015


Beberapa tempat wisata di jawa tengah

tempat wisata di Jawa Tengah

Tahukah Anda, ada banyak sekali tempat wisata di Jawa Tengah yang menarik untuk dikunjungi. Beberapa di antaranya adalah tempat-tempat wisata yang populer, seperti yang dapat Anda temukan di kota Semarang dengan Lawang Sewu dan Kota Lama, atau di Solo dengan keraton dan sentra batiknya, hingga Ambarawa dengan museum kereta api. Sebagai sebuah provinsi yang diapit oleh Jawa Barat dan Jawa Timur, kondisi infrastruktur di Jawa Tengah tergolong baik dengan kondisi jalan yang mampu menghubungkan antar kota dan antar desa secara lancar.
 
Sebagai sebuah pusat kebudayaan Jawa, daerah ini memang terkenal dengan tradisi masyarakatnya yang masih bertahan hingga kini. Keberadaan dua keraton di belahan tengah pulau Jawa yang masih eksis mengkonfirmasi akan hal ini, yakni keraton Jogja dan keraton Solo. Oleh sebab itu, budaya masyarakat lokal adalah salah satu karakter unik dari sejumlah tempat wisata di Jawa Tengah yang dapat Anda temukan. Kerajinan batik di Solo telah terkenal hingga ke mancanegara, selain pula keberadaan dua World Heritage oleh UNESCO, yaitu Candi Borobudur di Magelang dan situs Sangiran di Sragen.
Belum lagi pada wisata kulinernya yang disukai banyak kalangan penikmat perjalanan, Jawa Tengah menawarkan Anda pada sejumlah olahan makanan khas yang dapat Anda temukan di kota Semarang dan Solo.

Tempat Wisata di Jawa Tengah

Dihimpun dari berbagai sumber, berikut ini adalah sejumlah tempat wisata di Jawa Tengah yang paling populer di kalangan penikmat perjalanan.
Lawang Sewu di Semarang
Lawang Sewu di Semarang

1. Lawang Sewu di Semarang

Bangunan kuno peninggalan Belanda yang dibangun pada 1904 ini adalah sebuah tempat wisata di Jawa Tengah yang populer. Pada awalnya, Lawang Sewu adalah kantor pusat perusahaan kereta api (trem) Belanda. Karena memiliki pintu yang banyak, jumlah lubang pintunya terhitung sebanyak 429 buah dengan daun pintu lebih dari 1.200, masyarakat Semarang menamakannya Lawang (pintu) dan Sewu (seribu), artinya seribu pintu. Salah satu tempat wisata Semarang yang unik ini kerap juga dijadikan sebagai tempat pre-wedding bagi sebagian pasangan yang hendak menikah.
Untuk dapat masuk, Anda harus membayar tiket masuk Lawang Sewu sebesar Rp 10 ribu per orang. Jika ingin memasuki ruangan bawah tananhya, maka Anda harus membayar Rp 30 ribu per orang.
Alamat: Jl. Pemuda (Komplek Tugu Muda), Semarang, Jawa Tengah

2. Kota Lama Semarang (Little Netherland)


Kota Lama Semarang
Kota Lama Semarang

Jika sudah Anda mengenal Kota Tua di Jakarta, maka Kota Lama Semarang adalah salah satu tempat wisata di Jawa Tengah yang dikenal banyak kalangan penikmat perjalanan. Anda dapat menemukan rekaman tata bangun wilayah berarsitektur Eropa yang ada di tempat ini. Objek wisata di Semarang yang satu ini dijuluki pula sebagai “Little Netherland”. Landmark paling menarik di kawasan Kota Lama adalah Gereja Blenduk, sebuah bangunan berusia lebih dari 2.5 abad. Kata blenduq berasal dari bahasa Jawa, yang berarti kubah, merujuk pada kubah gereja ini. Atapnya yang melengkung dan berwarna merah terasa kontras dengan dindingnya yang bercat putih. Empat pilar kokoh dan menara kembarnya yang khas di bagian depan membentuk ciri khas gereja yang satu ini.
Kota Lama Semarang merupakan destinasi favorit bagi para penikmat sejarah dan pecinta fotografi yang ada di Indonesia. Selain Gereja Blenduk, Kawasan Stasiun Tawang dan Polder Air Tawang adalah landmark lain yang patut Anda kunjungi saat berada di Kota Lama Semarang. Di area Polder, terdapat pabrik rokok Praoe Lajar (Prau Layar) yang masih beroperasi sejak dulu sampai sekarang. Menikmati suasana di Kota Lama Semarang pada malam hari adalah salah satu cara terbaik di tempat ini.
Alamat: Jl. Kartini, Semarang, Jawa Tengah

3. Jalan Pahlawan Semarang


Jalan Pahlawan Semarang
Jalan Pahlawan Semarang

Inilah jalan terbesar di Semarang, yang adalah juga tempat di mana Kantor Gubernur Jawa Tengah berada selain Polda Jateng dan Taman Makam Pahlawan. Jalan Pahlawan merupakan pula salah satu penghubung menuju Simpang Lima. Di malam hari, Jalan Pahlawan menjadi kawasan wisata baru yang ramai dengan pengunjung, terlebih di akhir pekan. Anda dapat menemukan banyak jajanan di sepanjang jalan ini.

Trotoar jalan yang luas dan tertata rapi adalah keistimewaan jalan ini. Tatkala sore, banyak warga Semarang menghabiskan waktunya dengan bermain-main dan bersantai di sepanjang Jalan Pahlawan ini. Terlebih di saat akhir pekan, kemeriahan dan lalu lalang orang terlihat begitu ramai hingga malam hari.
Alamat: Semarang, Jawa Tengah

4. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Solo


Keraton Kasunanan di Solo
Keraton Kasunanan di Solo

Keraton ini didirikan pertama kalinya pada tahun 1744 oleh Sunan Paku Buwono II, dan kini menjadi sebuah tempat yang menyimpan banyak nilai sejarah. Dalam bagian keraton yang disebut Panggung Sanggabuwana, konon di situlah Susuhunan bersemedi dan bertemu Nyai Rara Kidul, penguasa Pantai Selatan. Selain itu, terdapat pula museum yang menyimpan barang-barang peninggalan keraton dan fragmen candi-candi di Jawa Tengah.

Jika Anda datang ke tempat wisata Jateng yang satu ini, wajib untuk mematuhi berbagai peraturan, seperti tidak memakai topi dan  kacamata hitam, tidak bercelana pendek, tidak menggunakan sandal dan jaket. Harga tiket masuk keraton Surakarta adalah sebesar Rp 4 ribu per orang. Jika Anda membawa kamera, akan dikenakan tiket tambahan Rp 2 ribu. Setelah puas berkeliling keraton, jangan lupa untuk singgah ke Pasar Klewer yang berjarak tidak jauh. Pasar ini adalah salah satu pusat perdagangan batik di Solo yang terkenal selain juga Kampung Batik Laweyan.
Alamat: Kelurahan Baluwarti, Kec. Pasar Kliwon , Solo, Jawa Tengah


5. Ngarsopura Night Market Solo



Ngarsopura Night Market Solo
Ngarsopura Night Market Solo

Inilah pasar malam di Solo yang secara rutin dibuka pada hari Sabtu – Minggu mulai pukul 19.00 – 21.00 WIB. Ngarsopura ini adalah tempat berdagang yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki KTP Solo. Produk yang dijual di pasar malam ini di antaranya kerajinan, batik, souvenir, hingga makanan kuliner khas Solo. Di tempat ini juga Anda akan menjumpai live performance, seperti jazz, tarian, atau musik etnik dari para penggiat seni di Solo. Hal ini ditujukan untuk menambah semarak suasana di Ngarsopuro Night market.

Sebagai salah satu destinasi wisata di Jawa Tengah yang populer, Solo memang ramai akan kunjungan wisatawan. Jika Anda tiba di Solo pada hari Sabtu, luangkanlah waktu untuk bermalam minggu di Ngarsopura.
Alamat: Jl. Diponegoro, Solo, Jawa Tengah

6. Kampung Batik Laweyan di Solo



Kampung Batik Laweyan di Solo
Kampung Batik Laweyan di Solo

Inilah salah satu sentra batik di kota Solo. Dahulu kala, Kiai Ageng Henis (kakek Panembahan Senopati) adalah orang yang mengajari penduduk setempat bagaimana cara membatik. Konon menurut kisah, usia Kampung Laweyan jauh lebih tua daripada Keraton Kasunanan di mana daerah Laweyan di Solo ini sudah eksis dengan batiknya sejak Kerajaan Pajang berkuasa di Jawa Tengah pada pertengahan abad ke-16.

Di Kampung Batik Laweyan, Anda akan mendapati kesan arsitektural Eropa di kampung Laweyan ini. Banyak rumah-rumah di Laweyan dibangun dengan sentuhan arsitektur Eropa yang megah dan kokoh. Dulu, rumah-rumah itu adalah kediaman para saudagar batik. Tetapi kini, kampung yang berdiri di atas lahan seluas 24 hektar tersebut terbagi ke dalam tiga blok besar. Anda dapat puas berkeliling dari satu toko ke toko lainnya untuk mencari batik yang paling Anda sukai di tempat ini. Sungguh, Indonesia terkenal akan kerajinan batiknya, seperti yang dapat ditemukan di Jogja, Solo, Cirebon, Papua, dan masih banyak lagi dari berbagai daerah di Nusantara.
Alamat: Jl. Doktor Radjiman No. 521, Solo, Jawa Tengah

Rabu, 18 Februari 2015

CONTOH MAKALAH FUNGSI BAHASA


BAB I
FUNGSI BAHASA

A.    Pengertian Bahasa
Bahasa merupakan sarana yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia, mengingat manusia sebagai makhluk sosial, makhluk Tuhan yang tidak bisa hidup tanpa kerja sama dengan orang lain. Bahasa dibutuhkan sebagai sebuah sarana untuk menghubungkan manusia satu dengan lainnya. Secara umum, bahasa lebih dikenal sebagai alat komunikasi. Secara teknis, bahasa adalah seperangkat ujaran yang bermakna yang dihasilkan alat ucap manusia, sedangkan secara praktis, menurut Keraf (2004: 1), bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Berdasarkan pengertian bahasa di atas, dapat dikatakan bahwa bahasa memiliki 2 aspek, yaitu aspek sistem (lambang) bunyi dan aspek makna. Bunyi bahasa memiliki sistem, artinya tersusun menurut aturan. Sistem bunyi terdapat pada bahasa lisan, sedangkan sistem bunyi yang digambarkan dengan lambang, yaitu huruf, ditemukan dalam bahasa tulis. Aspek makna dalam bahasa mengandung suatu arti / pengertian yang ditimbulkan oleh bentuk bahasa. Hubungan kedua aspek bahasa tersebut bersifat arbitrer atau manasuka. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 88) juga disebutkan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Hubungan tersebut dikatakan arbitrer, karena antara bahasa sebagai sistem bunyi dan wujud benda / konsep yang dilambangkan dengan bahasa itu sebenarnya tidak ada kaitan langsung. Jadi, hubungan antara bahasa dan wujud bendanya hanya didasarkan pada kesepakatan antarpenutur bahasa di dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Apakah seekor hewan dengan ciri-ciri tertentu dinamakan anjing, dog, hund, chien, atau canis, itu tergantung dari kesepakatan anggota masyarakat bahasa itu masing-masing.

B. Fungsi Bahasa secara Umum
            Bahasa selain merupakan alat komunikasi, pada dasarnya juga merupakan alat ekspresi diri, alat integrasi dan adaptasi sosial, serta alat kontrol sosial.
1. Alat Ekspresi Diri
            Bahasa merupakan sarana untuk mengekspresikan segala sesuatu yang ada dalam diri seseorang, baik berupa gagasan, pikiran, perasaan, maupun pengalaman. Sebagai alat ekspresi diri, bahasa mampu menyatakan keberadaan atau menunjukkan eksistensi seseorang kepada orang lain. Pada dasarnya, tindakan mengekspresikan diri sudah dimiliki seseorang sejak masih bayi, yaitu untuk menunjukkan rasa lapar, haus, mengantuk, biasanya seorang bayi menangis. Bahasa bukan saja mencerminkan gagasan dan pikiran, melainkan juga mencerminkan perasaan dan perilaku seseorang.

2. Alat Komunikasi
            Dalam fungsi ini, bahasa digunakan untuk menjalin hubungan dengan anggota masyarakat yang lain yang mempunyai kesamaan bahasa. Sebagai alat komunikasi, bahasa berperan sebagai sarana untuk menjalin kerja sama dengan pihak lain, baik kepentingan perseorangan, kelompok, maupun bersama. Dengan bahasa, kita dapat mempelajari segala sesuatu, seperti warisan nenek moyang, sehingga selain mewarisi budaya dan tradisi sekaligus dapat melestarikan dengan cara mengajarkannya kepada generasi penerus.

3. Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial
            Melalui bahasa, seorang anggota masyarakat perlahan-lahan belajar mengenal segala adapt-istiadat, tingkah laku, dan tata karma masyarakat. Ia mencoba menyesuaikan diri (adaptasi) dengan semuanya melalui bahasa. Seorang pendatang baru dalam sebuah masyarakat pun harus melakukan hal yang sama. Bila ingin hidup tenteram dan harmonis dengan masyarakat itu, ia harus menyesuaikan diri dengan masyarakatnya. Untuk itu, ia memerlukan bahasa, yaitu bahasa masyarakat tersebut. Jika ia dapat menyesuaikan diri, ia pun akan dengan mudah membaur (berintegrasi) dengan segala macam tata krama di dalam masyarakat tersebut.

4. Alat Kontrol Sosial
            Bahasa dapat digunakan untuk mengatur berbagai aktivitas sosial, merencanakan berbagai kegiatan, dan mengarahkannya ke dalam suatu tujuan yang diinginkan. Segala kegiatan dapat berjalan dengan baik apabila diatur atau dikontrol dengan bahasa. Selain itu, kita dapat memberikan perintah atau instruksi kepada seseorang untuk melakukan suatu aktivitas atau sebaliknya, melarang melakukan suatu aktivitas. Semua tutur kata dimaksudkan untuk mendapat tanggapan, baik tanggapan yang berupa lisan (perkataan) maupun berupa perbuatan/tindakan. Seorang pemimpin akan kehilangan wibawa, bila bahasa yang dipergunakan untuk menyampaikan ilustrasi atau penerangan kepada bawahannya adalah bahasa yang kacau dan tidak teratur. Kekacauan dalam berbahasa akan menggagalkan usaha untuk memengaruhi tingkah laku bawahannya.

C. Fungsi Bahasa secara Khusus
            Ada beberapa faktor yang mendukung pernyataan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa terpenting di Indonesia. Beberapa faktor tersebut adalah Sumpah Pemuda 1928, Pasal 36 UUD 1945, jumlah penutur bahasa Indonesia yang banyak, persebaran Bahasa Indonesia yang sangat luas, dan peranan Bahasa Indonesia sebagai sarana ilmu, sastra, serta ungkapan budaya lain.
            Bahasa Indonesia dalam khazanah kehidupan berbangsa dan bernegara mempunyai dua kedudukan, yakni sebagai bahasa nasional, yang didasarkan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan sebagai bahasa negara, yang didasarkan pada UUD 1945, Bab XV, Pasal 36.
           

Di dalam keputusan Seminar Politik Bahasa Nasional dinyatakan bahwa sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
1.      lambang kebanggaan nasional,
2.      lambang identitas nasional,
3.      alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbineka, dan
4.      alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah.

Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
1.      bahasa resmi kenegaraan,
2.      bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,
3.      bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan, dan
4.      bahasa resmi dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan teknologi modern serta seni (Sugono, 1994: 3).















BAB II
BENTUK-BENTUK KEBAHASAAN
BERDASARKAN KONTEKSNYA

A. Ragam Bahasa
            Ragam bahasa yang dimaksudkan adalah variasi pemakaian bahasa yang timbul sebagai akibat adanya sarana / media, situasi, dan bidang pemakaian bahasa yang berbeda-beda. Beberapa penyebab terjadinya variasi bahasa tersebut merupakan tiga hal terpenting yang perlu diperhatikan jika membicarakan ragam bahasa. Ketiga hal tersebut adalah:
1.      media yang digunakan, dibedakan atas ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis;
2.      latar belakang penutur, dibedakan atas: (a) ragam daerah (dialek), (b) ragam bahasa terpelajar, (c) ragam bahasa resmi, dan (d) ragam bahasa tak resmi;
3.      pokok persoalan yang dibicarakan, dibedakan atas bidang-bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya ragam bahasa hukum, ragam bahasa sastra, dan ragam bahasa kedokteran.

B. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
            Munculnya pernyataan “bahasa Indonesia yang baik dan benar” pada dasarnya tidak terlepas dari konteks pemakaian bahasa yang beragam.
            Kriteria pemakaian bahasa yang baik adalah ketepatan memilih ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi. Pemilihan ini bertalian dengan topik apa yang dibicarakan, tujuan pembicaraan, orang yang diajak berbicara (lisan) atau orang yang akan membaca (tulis), dan tempat pembicaraan. Selain itu, bahasa yang baik adalah bernalar, artinya logis dan sesuai dengan tata nilai masyarakat.
           


Kriteria pemakaian bahasa yang benar adalah dengan melihat kaidah bahasa. Kaidah bahasa meliputi aspek:
1.      tata bunyi (fonologi),
2.      tata bahasa (kata dan kalimat),
3.      tata wacana
4.      kosakata (termasuk istilah),
5.      ejaan, dan
6.      makna.
            Dengan demikian, yang dimaksud bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang penggunaannya sesuai dengan situasi pemakaiannya dan sekaligus sesuai dengan kaidah yang berlaku.



















BAB III
LOGIKA / PENALARAN DALAM BAHASA

A. Menulis sebagai Proses Penalaran
Menulis sebagai salah satu kegiatan berbahasa merupakan proses berpikir, karena melakukan pemikiran yang menghubungkan dan membandingkan fakta. Tulisan adalah perwujudan hasil pemikiran/penalaran. Jadi, tulisan tidak dapat dipisahkan dari penalaran.
            Berpikir merupakan kegiatan mental setiap saat yang terjadi secara sadar maupun tidak sadar. Bernalar adalah kegiatan berpikir dengan tingkatan yang lebih tinggi, dilakukan secara sadar, tersusun dalam urutan yang saling berhubungan dan bertujuan ke arah kesimpulan. Dengan demikian, proses bernalar atau penalaran merupakan proses berpikir yang sistematik untuk memperoleh kesimpulan berupa pengetahuan (Akhadiah, 1992: 41). Kegiatan penalaran bisa bersifat ilmiah atau tidak ilmiah. Sedangkan dari prosesnya, penalaran dapat dibedakan atas penalaran induktif dan penalaran deduktif.

B. Penalaran Induktif
            Penalaran induktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus. Ada beberapa jenis penalaran yang termasuk dalam penalaran induktif, di antaranya: generalisasi, analogi, dan hubungan kausal.
1. Generalisasi
            Generalisasi adalah proses penalaran berdasarkan pengamatan atas sejumlah gejala dengan sifat-sifat tertentu untuk menarik kesimpulan umum mengenai semua atau sebagian dari gejala serupa.



2. Analogi
            Analogi adalah proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa khusus yang mirip satu sama lain, kemudian menyimpulkan apa yang berlaku untuk suatu hal akan berlaku pula untuk hal lain. Tujuan proses penalaran analogi adalah untuk meramalkan kesamaan, menyingkap kekeliruan, dan menyusun sebuah klasifikasi.

3. Hubungan Kausal
            Hubungan kausal merupakan hubungan ketergantungan antara gejala-gejala yang mengikuti pola sebab-akibat, akibat-sebab, dan akibat-akibat. Hubungan sebab-akibat mula-mula bertolak dari suatu peristiwa yang dianggap sebagai sebab yang diketahui, kemudian bergerak maju menuju pada suatu kesimpulan sebagai efek atau akibat terdekat, misalkan kalau saya tidak ikut ujian, saya tidak akan lulus. Hubungan akibat-sebab merupakan proses berpikir induktif dengan bertolak dari peristiwa yang dianggap sebagai akibat yang diketahui, kemudian bergerak menuju sebab-sebab yang mungkin telah menimbulkan akibat tadi, misalnya ada seorang pasien pergi ke dokter karena sakit yang dideritanya. Hubungan akibat-akibat adalah proses penalaran yang bertolak dari suatu akibat menuju suatu akibat yang lain tanpa menyebut sebab umum yang menimbulkan kedua akibat tadi.

C. Penalaran Deduktif
            Penalaran deduktif dimulai dengan suatu premis atau pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan. Kesimpulannya merupakan implikasi dari premis. Jadi, yang terdapat dalam kesimpulan ternyata sudah tersirat dalam pernyataan dasar. Proses deduksi tidak menghasilkan pengetahuan baru, tetapi kesimpulan yang konsisten dengan pernyataan dasar, misalnya:
Premis Mayor  : Manusia adalah makhluk berakal budi.
Premis Minor   : Bhama adalah seorang manusia.
Kesimpulan     : Sebab itu, Bhama adalah makhluk berakal budi.

D. Penalaran dalam Karangan
            Suatu tulisan sebagai hasil proses bernalar merupakan hasil proses deduksi, induksi, atau gabungan keduanya. Suatu tulisan bersifat deduktif dibuka dengan suatu pernyataan umum kemudian dikembangkan dengan pernyataan-pernyataan khusus. Sebaliknya, suatu tulisan bersifat induktif dimulai dengan pernyataan-pernyataan khusus dan diakhiri dengan suatu kesimpulan / pernyataan umum. Gabungan antara keduanya dimulai dengan pernyataan umum yang diikuti dengan rincian-rincian dan akhirnya ditutup dengan pengulangan pernyataan umum di atas. Wujud penalaran dalam karangan dapat dikaitkan dengan dua hal, yaitu urutan pengembangan karangan (urutan logis) dan isi karangan.
1. Urutan Logis
            Karangan merupakan suatu kesatuan, sehingga harus dikembangkan dalam urutan yang sistematik, jelas, dan tegas. Urutan itu dapat disusun berdasarkan waktu (kronologis), ruang (spasial), alur penalaran (deduktif atau induktif), dan kepentingan.

2. Isi Karangan
            Berdasarkan isi karangan, beberapa penalaran yang diterapkan dalam suatu karangan adalah generalisasi dan spesifikasi, klasifikasi, perbandingan dan pertentangan, hubungan kausal, analogi, ramalan, dan gabungan.

E. Penalaran Ilmiah
            Ada beberapa konsep yang berhubungan dengan penalaran, khususnya penalaran  ilmiah. Menurut John Dewey dalam Akhadiah (1992: 55-56), proses ilmiah mencakup lima langkah pokok, yaitu merumuskan masalah, menyusun kerangka berpikir, merumuskan hipotesis, menguji hipotesis, dan menarik kesimpulan.



BAB IV
PENDAYAGUNAAN KATA

            Persoalan pendayagunaaan kata adalah persoalan mengelola kata agar memiliki kekuatan yang memiliki nilai guna dalam berbahasa, dan hal yang menjadi pokok terpenting adalah pilihan kata (diksi). Membicarakan masalah pilihan kata (diksi) memiliki sangkut-paut dengan dua hal, yaitu pemilihan kata dan pilihan kata itu sendiri. Pemilihan kata adalah proses atau tindakan memilih kata yang dapat mengungkapkan gagasan secara tepat, sedangkan pilihan kata adalah hasil dari proses tindakan tersebut.
            Dalam kegiatan berbahasa, pilihan kata merupakan faktor yang sangat penting karena pilihan kata yang tidak tepat, selain dapat menyebabkan ketidakefektifan bahasa yang digunakan, juga dapat mengganggu kejelasan informasi yang disampaikan. Kesalahpahaman informasi dan rusaknya situasi komunikasi juga tidak jarang disebabkan oleh penggunaan pilihan kata yang tidak tepat.
            Ketepatan gagasan, perasaan, dan pikiran dalam berbahasa baik lisan maupun tulis dapat tercapai apabila pemakai bahasa mampu memenuhi beberapa kriteria pemilihan kata. Kriteria-kriteria tersebut adalah:
1.      ketepatan
2.      kesesuaian / keserasian
3.      kecermatan
Ketepatan pemilihan kata berkaitan dengan kemampuan memilih kata yang dapat mengungkapkan gagasan secara tepat dan gagasan itu dapat diterima secara tepat pula oleh pembaca atau pendengarnya. Dengan kata lain, ketepatan pilihan kata berkaitan dengan makna, sehingga sering disebut sebagai aspek logika kata.
Kesesuaian pemilihan kata berhubungan dengan kemampuan menggunakan kata-kata yang sesuai dengan konteks pemakaiannya. Kesesuaian ini menyangkut kecocokan antara kata-kata dan kesempatan / situasi kondisi, sehingga sering disebut sebagai aspek sosial kata.
Kriteria yang ketiga adalah kecermatan pemilihan kata, hal ini berkaitan dengan kemampuan memilih kata yang memang benar-benar diperlukan untuk mengungkapkan gagasan tertentu, sehingga dihindari kemubaziran dalam berbahasa.
 Ketiga kriteria di atas tidak bisa berdiri sendiri tetapi saling berkaitan untuk mendapatkan pilihan kata yang tepat.

A. Ketepatan Pilihan Kata
            Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara. Menurut Widjono (2005: 87), penggunaan ketepatan pilihan kata ini dipengaruhi oleh kemampuan pengguna bahasa yang terkait dengan kemampuan mengetahui, memahami, menguasai, dan menggunakan sejumlah kosakata secara aktif yang dapat mengungkapkan gagasan secara tepat, sehingga mampu mengomunikasikannya secara efektif kepada pembaca atau pendengarnya. Kaya kosakata memungkinkan penulis atau pembicara lebih bebas memilih kata yang dianggap paling tepat mewakili pikirannya.
            Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai persyaratan ketepatan pilihan kata. Persyaratan-persyaratan tersebut terurai dalam ulasan di bawah ini.

1. Membedakan Makna Denotasi dan Konotasi dengan Cermat
Kata denotasi adalah kata yang maknanya mengacu pada gagasan tertentu / makna dasar, yang tidak mengandung nilai rasa tertentu atau makna tambahan, sedangkan kata konotasi adalah kata yang maknanya merupakan makna tambahan yang mengandung nilai rasa tertentu, di samping makna dasarnya, misalnya kata amplop bermakna denotasi ‘sampul surat’. Akan tetapi, kata amplop akan bermakna ‘uang suap’ jika ia sudah memiliki nilai rasa atau gambaran tambahan.
Contoh lain:    (1) Mereka sedang bermain ping-pong. (denotasi)
                        (2) Mereka sedang diping-pong oleh bagian administrasi. (konotasi)


2. Membedakan secara Cermat Makna Kata yang Bersinonim atau Mirip
            Kata-kata bersinonim kerapkali tidak dapat saling menggantikan. Kata besar bersinonim dengan makro, dan mayor, tetapi kita tidak dapat menggantikan kata rumah besar dengan rumah mayor.

3. Membedakan Makna Kata Homofon, Homograf, dan Homonim
            Kelompok kata homofon adalah kata-kata yang memiliki kesamaan bunyi tetapi berbeda tulisan dan mempunyai arti yang sama sekali tidak berhubungan, misalnya bang ‘panggilan untuk laki-laki’ dan bank ‘badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat’.
Kelompok kata homograf adalah kata-kata yang memiliki kesamaan tulisan tetapi berbeda bunyi dan mempunyai arti yang sama sekali tidak berhubungan, misalnya sedan ‘suara tertahan-tahan seperti orang yang lama menangis’ dan sedan ‘jenis mobil’.
Kelompok kata homonim adalah kata-kata yang memiliki kesamaan bunyi dan tulisan tetapi mempunyai arti yang tidak berhubungan, misalnya buku ‘lembar kertas berjilid berisi tulisan atau kosong’ dan buku ‘bagian di antara dua ruas’.

4.  Menafsirkan Makna Kata secara Objektif
 Jika pemahaman belum dipastikan, pemakai kata harus menemukan makna kata yang tepat di dalam kamus. Penulis harus mencari sumber yang menyimpan informasi yang diperlukan, karena penulis dianjurkan untuk menghindari pendapat sendiri tanpa melihat sumber yang dipercaya (subjektif).




5. Menggunakan Kata Asing dan Kata Serapan dengan Tepat
 Kata asing adalah kata-kata yang berasal dari bahasa asing dan penggunaannya pun masih mempertahankan bentuk aslinya, contohnya kata option. Adapun kata serapan adalah kata-kata yang berasal dari bahasa asing, tetapi penggunaannya sudah disesuaikan dengan struktur bahasa Indonesia. Menurut Anggarani (2006: 35), ada beberapa proses penyesuaian dalam membentuk kata serapan, yaitu proses adopsi, adaptasi, dan terjemahan. Kata koordinasi merupakan salah satu contoh kata asing yang sudah mengalami adaptasi, dan perlu diperhatikan penulisannya, yaitu bukan koordinir tetapi koordinasi. Contoh yang lain, misalnya:

SALAH
BENAR
legalisir
legalisasi
manipulir
manipulasi
publisir
publikasi
politisir
politisasi

6. Menggunakan Kata-Kata Idiomatik dengan Benar
Idiomatik yang dimaksud bukanlah peribahasa bukan pula frasa yang memiliki makna menyimpang dari kaidah umum, namun penggunaan kata depan yang dilekatkan secara idiomatik pada kata kerja tertentu. Dengan kata lain, sebuah kata  harus dilekatkan berdasarkan susunan (pasangan ) yang benar, misalnya berharap akan, sesuai dengan, dan terdiri atas.

7. Menggunakan Kata Umum dan Kata Khusus dengan Cermat
            Perbedaan kata umum dan kata khusus terletak pada ruang lingkupnya. Semakin luas ruang lingkup suatu kata, semakin umum sifatnya. Begitu pula sebaliknya, semakin sempit ruang lingkup suatu kata, semakin sempit sifatnya. Semakin umum suatu kata kemungkinan makin besar risiko terjadi kesalahpahaman. Dapat dikatakan bahwa semakin khusus kata yang dipakai, makin dekatlah penulis pada ketepatan pilihan kata. Meskipun demikian, kata khusus kadang masih menimbulkan gambaran yang berbeda pada masing-masing individu, karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman mengenai kata tersebut. Ada beberapa hal yang termasuk kata khusus, yaitu: nama diri, nama geografi, dan kata kata indera.
 
HUBUNGAN LUAS
HUBUNGAN KHUSUS
besar,
mayor
runcing
mancung
bergelombang
keriting
memasak
menanak
memotong
mengiris
campuran
ramuan
jatuh
tersungkur

8. Menggunakan Kata-Kata yang Mengalami Perubahan Makna dengan Cermat
            Terjadinya perubahan makna suatu kata disebabkan oleh beberapa hal, yaitu perkembangan IPTEKS, perkembangan sosial budaya, perbedaan bidang pemakaian, asosiasi, pertukaran tanggapan indera, dan pengembangan istilah.
Macam-macam perubahan makna:
a.      Perluasan Arti
Perluasan arti merupakan suatu proses perubahan makna yang dialami sebuah kata yang sebelumnya mengandung suatu makna khusus, kemudian meluas dan melingkupi sebuah kelas makna yang lebih umum.



KATA
MAKNA LAMA
MAKNA BARU
buah
pinang (pada beberapa bahasa daerah)
semua jenis buah-buahan
bapak
sebutan yang hanya dipakai untuk orang tua laki-laki yang masih memiliki hubungan kekerabatan / darah dengan orang yang memanggil (anak)
semua orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya
putera / puteri
sebutan yang hanya dipakai untuk anak-anak raja
semua anak laki-laki / semua anak perempuan
laksamana
nama orang, yaitu saudara Rama
pangkat tertinggi dalam kerajaan Melayu, kemudian di pemerintahan RI mula-mula dipakai untuk menyebut jenjang kepangkatan tertinggi AL dan AU, tetapi terakhir hanya untuk AL







b. Penyempitan Arti
Penyempitan arti merupakan sebuah proses yang dialami suatu kata yang makna lama memiliki cakupan lebih luas daripada makna baru.
KATA
MAKNA LAMA
MAKNA BARU
sarjana

sebutan untuk semua  cendekiawan
gelar universitas
pala
buah pada umumnya
sebutan untuk buah tertentu
bau
sebutan untuk segala macam gas yang dapat dicerap oleh indera penciuman
selalu diartikan busuk (bau busuk)

c.  Ameliorasi
            Ameliorasi adalah suatu proses perubahan makna dengan arti baru yang dirasakan lebih tinggi atau lebih baik nilainya daripada arti lama. Kata wanita dirasakan lebih tinggi nilainya daripada kata perempuan; kata istri juga dirasakan lebih tinggi daripada kata bini.

d.  Peyorasi
            Peyorasi adalah suatu proses perubahan makna sebagai kebalikan dari ameliorasi, yaitu arti baru dirasakan lebih rendah nilainya daripada arti lama. Peyorasi bertalian erat dengan sopan santun yang dituntut dalam kehidupan bermasyarakat. Kata bunting dianggap kurang sopan kemudian diganti dengan kata hamil atau mengandung atau berbadan dua.



e.  Metafora
            Metafora adalah perubahan makna dikarenakan persamaan sifat antara dua objek. Ia merupakan pengalihan semantik berdasarkan kemiripan persepsi makna. Kata raja siang (untuk matahari), putri malam (untuk bulan), empu laut (untuk pulau), dan lain-lain, semuanya dibentuk berdasarkan metafora.

f.       Metonimi
Metonimi sebagai suatu proses perubahan makna terjadi karena hubungan yang erat antara kata-kata yang terlibat dalam suatu lingkungan makna yang sama, dan dapat diklasifikasi menurut tempat atau waktu, isi dan kulit, atau sebab dan akibat. Penemuan-penemuan yang sering disebut menurut penemunya termasuk dalam gejala ini, yaitu ohm, ampere, watt; demikian juga hasil produksi disebut menurut tempatnya, yaitu eau de cologne, Bordeaux, champagne, dan sebagainya.

9. Menggunakan Kata Abstrak dan Kata Konkret dengan Cermat
            Kata abstrak adalah kata yang mempunyai referen berupa konsep, sedangkan kata konkret adalah kata yang mempunyai referen berupa objek yang dapat diamati. Kata abstrak lebih sulit dipahami daripada kata konkret. Bandingkan kata-kata seperti, meja, kursi, komputer, dan televisi, dengan kata-kata seperti, kemanusiaan, kepercayaan, kecerdasan, dan demokrasi. Tulisan yang mendeskripsikan suatu fakta akan lebih banyak menggunakan kata-kata konkret, sedangkan tulisan yang banyak mengemukakan klasifikasi atau generalisasi akan cenderung meggunakan kata-kata abstrak.






B. Kesesuaian Pilihan Kata
            Kesesuaian dalam pilihan kata berkaitan dengan pemilihan kata yang disesuaikan dengan konteks penggunaannya. Konteks penggunaan dalam hal ini berkaitan dengan faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan.
            Faktor-faktor kebahasaan yang memengaruhi kesesuaian pemilihan kata, antara lain: hubungan makna antara kata yang satu dengan kata yang lain dan kelaziman penggunaan kata-kata tertentu.
            Faktor hubungan makna antara kata yang satu dengan kata yang lain dalam sebuah kalimat dapat dilihat pada penggunaan di mana yang kerap kali digunakan dalam sebuah kalimat, misalnya:
(3)   Ia sering berkunjung ke ISI Yogyakarta di mana ia dulu mendapatkan gelar sarjana.
Berdasarkan konteksnya, penggunaan kata penanya di mana pada kalimat di atas tidak tepat, karena kata penanya harusnya digunakan pada kalimat tanya, padahal kalimat di atas adalah kalimat berita yang tentu saja tidak memerlukan kehadiran kata di mana. Dilihat dari hubungan makna antarkata, kalimat di atas tidak memerlukan kata penanya. Kalimat di atas akan menjadi lebih tepat jika diubah menjadi:
(3a) Ia sering berkunjung ke ISI Yogyakarta tempat ia dulu mendapatkan gelar sarjana.
            Faktor kebahasaan yang kedua adalah kelaziman penggunaan kata-kata. Yang dimaksud dengan kelaziman adalah kata yang sudah biasa digunakan dalam komunikasi baik lisan maupun tulisan. Dengan kata lain, kata yang lazim adalah kata yang sudah dikenal secara umum, sehingga penggunaannya akan mempermudah pembaca atau pendengar. Oleh karena itu, untuk mencegah ketidakjelasan pemahaman, penulis atau pembicara sebaiknya menghindari kata-kata yang tidak lazim, misalnya kata jaksa lazim digunakan bersama dengan kata agung, tetapi tidak lazim digunakan bersama kata besar, raya, atau akbar.

            Kriteria yang memengaruhi kesesuaian pilihan kata selain faktor kebahasaan adalah faktor nonkebahasaan. Faktor nonkebahasaan adalah faktor-faktor yang ada di luar masalah kebahasaan, antara lain situasi pembicaraan, lawan bicara, dan sarana bicara.
            Situasi pembicaraan dalam hal ini menyangkut situasi resmi dan situasi tidak resmi. Munculnya situasi resmi dan situasi tidak resmi tersebut sebenarnya juga dipengaruhi oleh lawan bicara. Berbicara mengenai kedua situasi tersebut tidak bisa lepas dari ragam bahasa, yaitu ragam bahasa baku dan tidak baku. Kebakuan yang dimaksud selain berkaitan dengan pilihan kata, juga berkaitan dengan bentuk kata, ejaan, dan susunan kalimat. Perhatikan beberapa contoh kata-kata baku dan tidak baku di bawah ini:

BAKU
TIDAK BAKU
analisis
analisa
biaya
beaya
diagnosis
diagnosa
fotokopi
foto copy
Jumat
Jum’at
kualitas
kwalitas
metode
metoda
objek
obyek
risiko
resiko
teknik
tehnik

            Dalam situasi pemakaian bahasa resmi, selain menggunakan ragam bahasa baku hendaknya menghindari kata-kata jargon dan slang. Seperti dalam tulisan formal diusahakan menghindari kata-kata yang termasuk jargon. Jargon merupakan kata-kata teknis yang digunakan secara terbatas dalam bidang ilmu, profesi, atau kelompok tertentu. Kata-kata ini kerapkali berupa kata sandi / kode rahasia untuk kalangan tertentu, misalnya dokter, militer, copet, sopir, dan perkumpulan rahasia.
            Slang adalah semacam kata percakapan, kata-kata nonstandar yang informal disusun secara khas, atau kata-kata biasa yang diubah secara arbitrer, atau kata-kata kiasan yang khas, bertenaga, dan jenaka. Kadangkala slang dihasilkan dari salah ucap yang disengaja atau kadangkala berupa perusakan sebuah kata biasa untuk mendapatkan makna lain. Slang biasanya bersifat sementara, mudah hilang karena akan muncul slang-slang yang baru. Contoh slang: asoy, bahenol, yuuuk!, baguus, dan lain-lain.
            Faktor nonkebahasaan yang juga perlu diperhatikan adalah sarana. Yang dimaksud sarana adalah lisan atau tulis. Untuk mencapai kesesuaian pilihan kata, harus bisa dibedakan antara kata-kata yang digunakan dalam bahasa lisan dan bahasa tulis.

C. Kecermatan Pilihan Kata
            Kecermatan pilihan kata berkaitan dengan kemampuan memilih kata yang benar-benar diperlukan untuk mengungkapkan gagasan. Oleh karena itu, pemakai bahasa harus cermat memahami kata-kata mubazir yang kehadirannya tidak diperlukan dalam konteks. Ada beberapa penyebab kemubaziran, antara lain:
1. Penggunaan Makna Jamak Ganda
            Hal ini dapat dilihat dari contoh kalimat:
(4)  Sejumlah desa-desa yang ada di Bantul mengalami rusak berat akibat gempa bumi 27 Mei 2006.
            Sejumlah dalam bahasa Indonesia sudah mengandung makna jamak, begitu juga halnya dengan bentuk ulang desa-desa, sehingga apabila keduanya digunakan bersama-sama menyebabkan kemubaziran. Kalimat di atas lebih sesuai jika diubah menjadi:

(4a) Sejumlah desa yang ada di Bantul mengalami rusak berat akibat gempa bumi 27 Mei 2006. Atau:
(4b) Desa-desa yang ada di Bantul mengalami rusak berat akibar gempa bumi 27 Mei 2006.   

2. Penggunaan Kata yang Mempunyai Kemiripan Makna atau Fungsi secara Berganda
(5) Kita harus jeli mencari objek agar supaya dapat menghasilkan foto yang menarik.
            Kata agar dan supaya masing-masing mempunyai makna dan fungsi yang mirip. Masing-masing bermakna menyatakan ‘tujuan’ atau ‘harapan’, serta sama-sama berfungsi sebagai ungkapan penghubung. Agar tidak menimbulkan kemubaziran, dari kedua kata itu cukup dipilih salah satu dalam penggunaannya.
         (5a) Kita harus jeli mencari objek agar dapat menghasilkan foto yang menarik.
         Atau
(5b) Kita harus jeli mencari objek supaya dapat menghasilkan foto yang menarik.

3. Penggunaan Makna Kesalingan Berganda
            Makna kesalingan yang dimaksud adalah makna yang menyatakan tindakan ‘berbalasan’, misalnya:
(6) Walaupun perjanjian gencatan senjata sudah ditandatangani, saling tembak-menembak antara kedua pihak tetap sulit dihindari.
Kata saling dan bentuk ulang tembak-menembak sama-sama menyatakan tindakan ‘berbalasan’. Oleh karena itu, penggunaan keduanya secara bersama-sama menyebabkan kemubaziran, sehingga harus digunakan salah satu.
(6a) Walaupun perjanjian gencatan senjata sudah ditandatangani, saling tembak antara kedua pihak tetap sulit dihindari. Atau
(6b) Walaupun perjanjian gencatan senjata sudah ditandatangani, saling menembak antara kedua pihak tetap sulit dihindari. Atau
(6c) Walaupun perjanjian gencatan senjata sudah ditandatangani, tembak-menembak antara kedua pihak tetap sulit dihindari.

4. Konteks Kalimat
            Konteks pemakaian merupakan penyebab kemubaziran dengan jumlah terbanyak. Salah satu contohnya:
(7) Kursi ini terbuat daripada kayu.
            Penggunaan daripada kalimat di atas tidak sesuai, karena daripada seharusnya digunakan untuk menyatakan perbandingan, padahal kalimat di atas seharusnya menyatakan makna ‘asal’. Kalimat yang tepat adalah:
(7a) Kursi ini terbuat dari kayu.
            Contoh yang lain adalah penggunaan kata tentang, di mana (seperti pada contoh 3), yang mana, dan lain-lain.
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecermatan pilihan kata dapat dicapai jika pemakai bahasa mampu memahami perbedaan makna kata sinonim, denotasi dan konotasi, serta kata-kata yang pemakaiannya mubazir.













BAB V
PENDAYAGUNAAN KALIMAT

            Kalimat merupakan suatu bentuk bahasa yang mencoba menyusun dan menuangkan gagasan-gagasan seseorang secara terbuka untuk dikomunikasikan kepada orang lain (Keraf, 2004: 38).
            Menurut Anggarani (2006: 1), penulisan kalimat yang digunakan dalam bahasa tulis (karangan ilmiah) harus berupa ragam tulis baku. Kalimat ragam tulis baku hendaknya berupa kalimat efektif, yaitu kalimat yang memenuhi kriteria jelas, sesuai dengan kaidah, dan nyaman dibaca. Kalimat efektif adalah kalimat yang singkat, padat, jelas, lengkap, dan dapat menyampaikan informasi secara tepat. Dengan kalimat efektif, komunikasi penulis dan pembaca atau pembicara dan pendengar tidak akan menghadapi keraguan, salah komunikasi, salah informasi, atau salah pengertian. Berikut akan dibahas beberapa hal mengenai ciri-ciri kalimat efektif.
A. Kelengkapan
            Kalimat yang efektif harus tersusun sesuai dengan kaidah yang berlaku. Dari segi kaidah tata bahasa, sekurang-kurangnya kalimat itu harus memiliki unsur subjek dan predikat (Sugihastuti, 2000: 66).
(8) Dari pameran kali ini mengenalkan seniman-seniman muda berbakat ke khalayak umum.
Kata depan dari yang terletak pada awal kalimat itu dapat menghilangkan gagasan yang ingin disampaikan, karena dengan adanya kata depan, subjek kalimatnya menjadi kabur. Pada kalimat di atas sebenarnya memiliki subjek pameran kali ini, namun didahului kata dari yang menyebabkan informasi menjadi kabur. Agar kalimat di atas menjadi efektif, kata depan tersebut harus dihilangkan, sehingga menjadi:
(8a) Pameran kali ini mengenalkan seniman-seniman muda berbakat ke khalayak umum.
            Perbaikan dengan cara lain dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan kata depan dari, hanya saja kata kerja mengenalkan sebagai predikat harus dipasifkan, seperti:
(8a) Dari pameran kali ini dikenalkan seniman-seniman muda berbakat ke khalayak umum.

B. Kesejajaran
            Menurut Widjono (2005: 149), kesejajaran adalah kesamaan bentuk kata yang digunakan secara konsisten, misalnya: kesatuan, kemakmuran, kedamaian, kesejahteraan; pertanian, perikanan, perkebunan, perdamaian; mengerjakan, membawakan, menertawakan. Perhatikan contoh berikut:
(9) Proposal penelitian ini sudah lama diajukan, tetapi dosen pembimbing belum menyetujuinya.
Kalimat di atas akan menjadi efektif jika unsur-unsurnya disejajarkan.
(9a) Proposal penelitian ini sudah lama diajukan, tetapi belum disetujui oleh dosen pembimbing.
(9b) Saya sudah lama mengajukan proposal penelitian ini, tetapi dosen pembing belum menyetujuinya.

C. Kehematan
Pembicaraan mengenai kehematan sudah kita ulas dalam materi pendayagunaan kata, khususnya kecermatan yang membahas kemubaziran. Penulisan ilmiah diharapkan menghindari sifat mubazir dalam penyusunannya, namun menekankan asas kehematan, prinsip ekonomis kebahasaan.

D. Kepaduan
            Kepaduan akan terlihat dalam penggunan kata penghubung, baik itu penghubung intrakalimat maupun antarkalimat. Pemakaian penghubung intrakalimat yang kurang tepat menyebabkan kalimat menjadi tidak efektif, tentu saja yang dimaksud di sini adalah kalimat majemuk. Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri dari dua klausa atau lebih, yang dari keduanya dihubungkan dengan kata penghubung.
Kalimat majemuk terdiri atas induk kalimat dan anak kalimat. Perbedaan antara keduanya adalah adanya kata penghubung yang ada di awal anak kalimat.
(10) Meskipun seniman itu belum terkenal, tetapi hasil karyanya sudah banyak.
Kalimat majemuk di atas tidak berinduk kalimat, karena kedua klausanya berperan sebagai anak kalimat karena masing-masing di awali kata penghubung. Kata penghubung sebaiknya tidak digunakan secara bersama-sama, karena menimbulkan kerancuan. Oleh karena itu, kalimat tersebut seharusnya:
(10a) Meskipun seniman itu belum terkenal, hasil karyanya sudah banyak. Atau,
(10b) Seniman itu belum terkenal, tetapi hasil karyanya sudah banyak.

E. Kevariasian
            Kevariasian kalimat dapat dilakukan dengan variasi struktur, diksi, dan gaya, asalkan variasi tersebut tidak menimbulkan perubahan makna kalimat yang menimbulkan kesalahpahaman.

F. Ketepatan Pilihan Kata
            Setiap kata harus mengungkapkan pikiran secara tepat. Penulis harus membedakan kata sinonim, struktur idiomatik, dan lain-lain. Hal ini sudah dibahas pada materi sebelumnya.

G. Ketepatan Ejaan
            Kecermatan menggunakan ejaan dan tanda baca dapat menentukan kualitas penyajian tulisan. Sebaliknya, kesalahan ejaan dapat menimbulkan kesalahan komunikasi yang fatal.


BAB VI
PENDAYAGUNAAN PARAGRAF

            Paragraf merupakan inti penuangan buah pikiran dalam sebuah karangan. Unsur-unsur pembentuk paragraf adalah gagasan pokok, kalimat topik, dan kalimat pendukung. Dengan kata lain, dalam paragraf terkandung satu unit buah pikiran yang didukung oleh semua kalimat dalam paragraf tersebut, mulai dari kalimat pengenal, kalimat utama atau kalimat topik, kalimat-kalimat penjelas sampai pada kalimat penutup.
            Kehadiran paragraf dalam sebuah wacana mampu menandai munculnya topik baru atau mungkin merupakan sebuah pengembangan lebih lanjut dari topik sebelumnya. Tanpa adanya paragraf dalam sebuah buku, seolah pembaca dipaksa  terus membaca tanpa ada jeda untuk istirahat, akibatnya rasa kelelahan yang didapat. Dengan adanya paragraf, pada saat membaca kita dapat berhenti sebentar, sehingga kita dapat memusatkan pikiran tentang gagasan yang terkandung.
            Selain itu, paragraf berguna untuk menambah hal-hal yang penting atau memerinci apa yang sudah diutarakan pada paragraf sebelumnya.

A. Jenis-Jenis Paragraf
            Berdasarkan fungsi dan letaknya, paragraf dapat dibedakan atas:
1. Paragraf Pembuka
            Tiap jenis karangan akan mempunyai paragraf yang membuka atau mengantar karangan, atau mengantar pokok pikiran dalam bagian karangan itu, sehingga letaknya pun ada di awal tulisan. Artinya, paragraf ini harus bisa berfungsi menjadi pengantar bagi pembaca menuju pokok permasalahan yang akan diulas. Selain itu, paragraf ini harus ditampilkan semenarik mungkin agar pembaca berminat untuk melanjutkan aktivitas membacanya sampai akhir tulisan.
            Ada beberapa teknik membuka sebuah tulisan, di antaranya adalah memulai dengan anekdot (cerita menarik, aneh, lucu), pertanyaan, fakta, statistik, kutipan, peribahasa, pengalaman, lagu / puisi yang terkait dengan topik; memberi ulasan (preview) atas beberapa temuan dari orang-orang terdahulu; memulai dengan pernyataan yang umum atau akrab dengan pembaca; dan menyatakan subtopik atau rencana penulisan (Anggarani, 2006: 106).

2. Paragraf Penghubung
            Yang dimaksud dengan paragraf penghubung adalah semua paragraf yang terletak di antara paragraf pembuka dan paragraf penutup. Inti persoalan yang akan dikemukakan penulis terdapat dalam paragraf ini. Oleh karena itu, dalam membentuk paragraf-paragraf penghubung harus diperhatikan agar hubungan antarparagraf tersusun secara teratur dan logis.
            Paragraf ini berisi inti persoalan yang akan dikemukakan, sehingga biasanya terdiri atas lebih dari tiga paragraf. Di bagian ini dikembangkan secara tuntas apa yang menjadi tujuan penulisan yang telah diungkapkan di dalam bagian pendahuluan.

3. Paragraf Penutup
            Paragraf penutup adalah paragraf yang berfungsi untuk menutup atau mengakhiri sebuah tulisan atau karangan, sehingga letaknya pun berada di bagian akhir. Paragraf ini mengandung kesimpulan dari apa yang telah diuraikan dalam paragraf-paragraf penghubung.
            Menurut Anggarani (2006: 108-109), ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk menutup sebuah tulisan, antara lain: meringkas hal-hal penting yang telah dibicarakan; memarafrasekan gagasan pokok seluruh tulisan; menyajikan penafsiran isi tulisan; memberi pendapat terhadap topik; memberi kesimpulan mengenai isi tulisan; memberi kutipan, proyeksi permasalahan; memberi anjuran ke pembaca dan prediksi; dan menyatakan pemecahan permasalahannya.



B. Persyaratan Pembentukan Paragraf
            Dalam pengembangan paragraf, penulis harus menyajikan gagasan menjadi suatu paragraf yang memenuhi persyaratan. Persyaratan itu ialah kesatuan, kepaduan, dan kelengkapan.
1. Kesatuan
            Setiap paragraf hanya mengandung satu gagasan pokok atau topik, dan fungsi paragraf sendiri adalah mengembangkan gagasan pokok tersebut. Paragraf dianggap mempunyai kesatuan, jika kalimat-kalimat dalam paragraf itu tidak terlepas dari topiknya.
Contoh (11):
Sebaiknya konsumen memerhatikan tiga hal dalam menyikapi iklan yang marak disiarkan di media cetak dan elektronik. Hal utama yang harus dilakukan ialah bersikap bijaksana. Maksudnya, konsumen sebaiknya tidak langsung percaya dengan apa yang dibaca atau didengar, tetapi bersikap hati-hati dengan menggunakan akal sehat memikirkan apakah hal-hal yang diiklankan tersebut masuk akal atau tidak. Selanjutnya, konsumen jangan mencoba-coba semua produk yang diiklankan. Hal terakhir yang perlu diperhatikan ialah menyadari kemampuan keuangan, apakah harga produk yang ditawarkan sesuai dengan jumlah uang yang dimiliki. Sebaiknya konsumen menyesuaikan keinginan dengan kebutuhan dan jangan membeli produk hanya karena ada diskon. Ini penting agar konsumen tidak terjerat dengan sistem pembelian secara utang.

Paragraf di atas sudah memenuhi persyaratan kesatuan, karena dalam satu kesatuan paragrafnya tidak pernah melenceng dari gagasan pokoknya, yaitu cara-cara menyikapi iklan di media cetak dan elektronik. Berbeda hal dengan paragraf di bawah ini:
Contoh (12):

Kebutuhan hidup sehari-hari setiap keluarga dalam masyarakat tidaklah sama. Hal ini sangat tergantung dari besarnya penghasilan setiap keluarga. Keluarga yang berpenghasilan sangat rendah, kemungkinan mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Lain halnya dengan keluarga yang berpenghasilan tinggi, mereka dapat menyumbangkan sebagian penghasilannya untuk pembangunan tempat-tempat ibadah atau kegiatan sosial lain. Tempat-tempat ibadah memang perlu bagi masyarakat. Pada umumnya tempat-tempat ibadah ini dibangun secara bergotong-royong dan mengandalkan sumbangan para dermawan.
Paragraf di atas tidak dapat mempertahankan kesatuannya, karena ada gagasan lain yang diungkapkan selain gagasan pokok. Gagasan pokoknya adalah kebutuhan hidup sehari-hari, namun di akhir, membicarakan tentang tempat peribadatan.

2. Kepaduan
            Urutan pikiran yang teratur menunjukkan adanya kepaduan. Di samping itu, kepaduan dititikberatkan pada hubungan antarkalimatnya, berkaitan atau tidak. Untuk memperoleh kepaduan yang baik antarkalimat, paragraf harus memerhatikan masalah kebahasaan dan pemerincian atau urutan isi paragraf.
            Pertama, yang perlu diperhatikan adalah permasalahan kebahasaan. Masalah kebahasaan ini terdiri atas repetisi, kata ganti, dan kata transisi.
a. Repetisi
            Kepaduan sebuah paragraf dapat diamankan dengan mengulang kata-kata kunci, yaitu kata-kata yang dianggap penting dalam paragraf.
Contoh (13):
Dalam mengajarkan sesuatu, langkah pertama yang perlu kita lakukan ialah menentukan tujuan pengajaran. Tanpa adanya tujuan yang sudah ditetapkan, materi yang kita berikan, metode yang kita gunakan, dan evaluasi yang kita susun, tidak akan banyak memberikan manfaat bagi anak didik dalam menerapkan hasil pembelajaran. Dengan mengetahui tujuan pengajaran, kita dapat menentukan materi yang akan kita ajarkan, metode yang akan kita gunakan, serta bentuk evaluasinya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Paragraf di atas menggunakan teknik repetisi, yaitu dengan mengulang kata tujuan.

b. Kata Ganti
            Untuk menghindari segi-segi negatif dari pengulangan kata, setiap bahasa di dunia ini memiliki sebuah alat yang dinamakan kata ganti. Kata ganti itu timbul untuk menghindari pengulangan kata (yang disebut anteseden) dalam kalimat-kalimat berikutnya.

Contoh (14):

Perkuliahan Bahasa Indonesia seringkali sangat membosankan sehingga tidak mendapat perhatian sama sekali dari mahasiswa. Hal ini disebabkan bahan kuliah yang disajikan dosen sebenarnya merupakan masalah yang sudah diketahui oleh mahasiswa atau merupakan masalah yang tidak diperlukan mahasiswa. Di samping itu, mahasiswa yang sudah mempelajari bahasa Indonesia sejak mereka duduk di bangku  sekolah dasar atau sekurang-kurangnya sudah mempelajarinya selama dua belas tahun, mereka sudah mampu menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya, memilih atau menentukan bahan kuliah yang akan diberikan kepada mahasiswa, merupakan kesulitan tersendiri bagi para pengajar bahasa Indonesia.

Hal ini dalam paragraf di atas berfungsi menggantikan perkuliahan Bahasa Indonesia seringkali sangat membosankan.

c. Kata Transisi
            Kata transisi berfungsi di antara repetisi dan kata ganti. Repetisi menghendaki pengulangan kata-kata kunci, sebaliknya kata ganti tidak menghendaki pengulangan sebuah kata. Untuk itu, kata transisi digunakan sebagai jalan tengah.
            Hubungan antara gagasan-gagasan terkadang agak sulit dirumuskan. Oleh karena itu, diperlukan bantuan, dalam hal ini bantuan kata-kata atau frasa-frasa transisi sebagai penghubung antara klausa dengan klausa (intrakalimat), kalimat dengan kalimat (antarkalimat), dan paragraf dengan paragraf (antarparagraf). Ada bermacam-macam kata atau frasa transisi yang bisa dipergunakan dalam tulisan-tulisan ilmiah sesuai dengan jenis hubungannya, di antaranya adalah:
1)      Hubungan yang menyatakan tambahan kepada sesuatu yang telah disebut sebelumnya: lebih lagi, tambahan (pula), selanjutnya, di samping itu, lalu, seperti halnya, juga, lagi (pula), berikutnya, kedua, akhirnya, tambahan lagi, demikian juga.
2)      Hubungan yang menyatakan pertentangan dengan sesuatu yang telah disebut lebih dahulu: tetapi, namun, bagaimanapun juga, walaupun demikian, sebaliknya, sama sekali tidak, biarpun, meskipun.
3)      Hubungan yang menyatakan perbandingan: sama halnya, seperti, dalam hal yang sama, dalam hal yang demikian, sebagaimana.
4)      Hubungan yang menyatakan akibat atau hasil: sebab itu, oleh sebab itu, oleh karena itu, jadi, maka, akibatnya.
5)      Hubungan yang menyatakan tujuan: untuk maksud itu, untuk maksud tersebut, supaya.
6)      Hubungan yang menyatakan singkatan, contoh, intensifikasi: singkatnya, ringkasnya, secara singkat, pendeknya, pada umumnya, seperti sudah dikatakan, dengan kata lain, misalnya, yakni, yaitu, sesungguhnya.
7)      Hubungan yang menyatakan waktu: sementara itu, segera, beberapa saat  kemudian, sesudah, kemudian.
8)      Hubungan yang menyatakan tempat: di sini, di situ, dekat, di seberang, berdekatan dengan, berdampingan dengan.
Paragraf pada contoh (14) menggunakan beberapa kata transisi, yaitu di samping itu yang menyatakan hubungan tambahan kepada sesuatu yang telah disebut sebelumnya dan akibatnya yang menyatakan hubungan akibat.
            Kedua, permasalahan yang perlu diperhatikan adalah pemerincian dan urutan isi paragraf. Yang dimaksud dengan pemerincian dan urutan isi paragraf adalah bagaimana pengembangan sebuah gagasan utama dan bagaimana hubungan antara gagasan-gagasan bawahan yang menunjang gagasan utama tadi. Penulis dapat menjamin kepaduan dengan mengemukakan perincian isi berdasarkan urutan ruang (spasial), urutan waktu (kronologis), urutan logis (sebab-akibat, akibat-sebab, umum-khusus, khusus-umum), urutan proses, atau sudut pandang satu ke sudut pandang yang lain.




3. Kelengkapan
            Menurut Akhadiah (1992: 152), suatu paragraf dikatakan lengkap, jika berisi kalimat-kalimat perincian yang cukup untuk menunjang kejelasan kalimat topik atau kalimat utama. Sebaliknya, suatu paragraf dikatakan tidak lengkap, jika tidak dikembangkan atau hanya diperluas dengan pengulangan-pengulangan.
Contoh (15):
Masyarakat Yogyakarta cenderung memanfaatkan akhir pekan dengan pergi ke luar kota. Mereka jarang menghabiskan waktu liburnya di rumah.

            Paragraf di atas merupakan contoh paragraf yang hanya diperluas dengan pengulangan. Kalimat kedua mengandung pengertian yang sama dengan kalimat pertama hanya saja menggunakan kata berkebalikan.

C. Pengembangan Paragraf
            Dalam mengembangkan paragraf, ada beberapa metode pengembangan paragraf, yaitu:
1. Secara Alamiah
            Pengembangan paragraf secara alamiah terdiri atas dua cara, yaitu urutan ruang (spasial) dan urutan waktu (kronologis).

2.Klimaks-Antiklimaks
            Gagasan utama mula-mula diperinci dengan sebuah gagasan bawahan yang dianggap paling rendah kedudukannya, kemudian berangsur-angsur menuju ke gagasan lain hingga ke gagasan yang paling tinggi kedudukannya atau kepentingannya. Hal itulah yang disebut dengan klimaks, sedangkan variasinya adalah antiklimaks, pengembangan paragraf dengan cara berlawanan dari klimaks.



3. Secara Logis
            Pengembangan paragraf secara logis dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya pemaparan sebab-akibat, akibat-sebab, umum-khusus, dan khusus-umum.
Contoh (16):
Semalam hujan turun dengan deras, membasahi baju seragam mengajar Bu Ida. Pagi ini Bu Ida baru menyadari bahwa ia lupa mengangkat seragamnya dari jemuran, padahal itu seragam satu-satunya dan ia wajib menggunakannya untuk mengajar. Akhirnya, Bu Ida memutuskan untuk tidak mengajar saja hari ini karena takut dimarahi atasannya jika tidak memakai seragam. Akibatnya, Bu Ida tidak datang. Mahasiswa yang menunggu kuliah pun pulang satu per satu.

Paragraf di atas menggunakan metode pengembangan sebab-akibat, sedangkan contoh paragraf di bawah adalah metode pengembangan kebalikannya, yaitu akibat-sebab.
Contoh (17):

Hari ini aku terlambat lagi, bukan karena terlambat bangun atau terlalu lama bermalas-malasan di rumah. Hari ini aku terlambat lagi karena bus yang aku tumpangi pecah bannya.

            Pengembangan paragraf umum-khusus dan khusus-umum merupakan cara yang paling sering digunakan.
Contoh (18):
Ada tiga tahap yang dilakukan untuk membentuk sebuah portofolio. Tahap pertama ialah membentuk Daftar Kebijakan Investasi. Dalam tahap ini ditentukan tujuan investasi dan batasan investasi, termasuk risiko yang dapat ditoleransi oleh investor serta tingkat pengembalian yang diinginkan. Tahap selanjutnya ialah mempelajari kondisi keuangan dan ekonomi saat ini serta berusaha meramalkan kecenderungan di masa datang. Ini penting untuk menentukan hidup matinya sebuah perusahaan. Tahap terakhir ialah tahap implementasi perencanaan pembentukan portofolio.

Contoh paragraf di atas dikembangkan dengan metode pemaparan umum-khusus. Dengan cara ini, gagasan utama diletakkan pada awal paragraf dan diikuti dengan gagasan-gagasan penjelasnya. Paragraf yang terbentuk biasanya disebut sebagai paragraf deduktif, paragraf yang banyak dipakai dalam tulisan-tulisan ilmiah.
Berbeda halnya dengan contoh (19) di bawah ini. Paragraf ini dikembangkan dengan metode pengembangan khusus-umum, sehingga gagasan utama diletakkan di akhir paragraf sesudah gagasan-gagasan penjelasnya. Paragraf seperti ini biasa disebut paragraf induktif.
Contoh (19):
Dokumen-dokumen dan keputusan-keputusan serta surat-menyurat yang dikeluarkan pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato terutama pidato kenegaraan, ditulis dan diucapkan dalam bahasa Indonesia. Hanya dalam keadaan tertentu, demi kepentingan komunikasi antarbangsa kadang-kadang pidato resmi ditulis dan diucapkan dalam bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Demikian juga pemakaian bahasa Indonesia dilakukan masyarakat dalam upacara, peristiwa dan kegiatan kenegaraan. Dengan kata lain, komunikasi timbal balik antarpemerintah dan masyarakat berlangsung dengan menggunakan bahasa Indonesia.

4. Perbandingan / Pertentangan
            Penulis berusaha membandingkan atau mempertentangkan dengan cara menunjukkan persamaan dan perbedaan antara dua hal.

5. Analogi
            Analogi digunakan untuk membandingkan sesuatu yang sudah dikenal umum dengan yang belum atau kurang dikenal umum. Kegunaannya untuk membantu kejelasan dari apa yang ingin dipaparkan penulis.




6. Proses / Langkah-Langkah
            Paragraf ini berusaha memaparkan langkah-langkah atau suatu proses tentang sesuatu hal. Jadi, memaparkan berdasarkan urutan prosesnya. Contoh mengenai paragraf ini dapat dilihat pada contoh (18), yang ditandai dengan tahap pertama, tahap selanjutnya, dan tahap terakhir.

7. Contoh-Contoh
            Sebuah generalisasi yang terlalu umum sifatnya agar dapat memberikan penjelasan kepada pembaca, kadang-kadang memerlukan contoh-contoh konkret.

8. Definisi Luas
            Untuk memberikan batasan tentang sesuatu, penulis harus menguraikan dengan beberapa kalimat, bahkan beberapa paragraf. Hal ini dapat dipelajari dalam hal definisi.

9. Klasifikasi
            Dalam pengembangan paragraf, kadang-kadang kita mengelompokkan hal-hal yang mempunyai persamaan. Pengelompokan ini biasanya diperinci lagi ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil.
Contoh (20):
Dalam karang-mengarang atau tulis-menulis, dituntut beberapa kemampuan, antara lain kemampuan yang berhubungan dengan kebahasaan dan kemampuan pengembangan atau penyajian. Yang termasuk kemampuan kebahasaan ialah kemampuan menerapkan ejaan, pungtuasi, kosakata, diksi, dan kalimat. Sedangakan, yang dimaksud dengan kemampuan pengembangan ialah kemampuan menata paragraf, kemampuan membedakan pokok bahasan, subpokok bahasan, dan kemampuan membagi pokok bahasan dalam urutan yang sistematik.


            Paragraf di atas menjelaskan kemampuan yang dituntut dalam tulis-menulis dikelompokkan menjadi dua bagian, kemudian tiap bagian diperinci lagi.
BAB VII
TEMA KARANGAN

A. Pengertian Tema
            Menurut arti katanya tema berarti “sesuatu yang telah diuraikan”, atau “sesuatu yang telah ditempatkan”. Kata ini berasal dari kata Yunani tithenai yang berarti ‘menempatkan’ atau ‘meletakkan’. Dalam kehidupan sehari-hari, kata tema sering dikacaukan pula pemakaiannya dengan istilah topik. Kata topik juga berasal dari Yunani topoi yang berarti tempat (Keraf, 2004: 121).
            Pengertian tema, secara khusus dalam karang-mengarang dapat dilihat dari dua sudut, yaitu sudut proses penyusunan sebuah karangan dan sudut karangan yang telah selesai. Dilihat dari sudut proses penyusunan sebuah karangan, tema dapat dibatasi sebagai suatu perumusan dari topik yang akan dijadikan landasan pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai melalui topik tadi. Jika dilihat dari sudut sebuah karangan yang telah selesai, tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui karangannya.

B. Pemilihan Topik
            Dalam merumuskan tema, topik atau pokok pembicaraan merupakan masalah yang dihadapi penulis. Pemilihan topik seringkali menjadi suatu beban bagi penulis pemula, karena mereka akan kesulitan menentukan topik apa yang akan digunakan dalam penyusunan karangan.
Sebenarnya segala hal yang menarik perhatian kita, bisa dijadikan topik suatu karangan. Memilih topik yang baik harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu topik merupakan hasil ketertarikan penulis, topik merupakan hal yang sudah dikuasai penulis, dan topik merupakan hal yang tidak terlalu baru, terlalu teknis, dan terlalu konvensional.


C. Pembatasan Topik
            Setiap penulis harus yakin bahwa topik yang dipilihnya harus cukup sempit dan terbatas atau sangat khusus untuk dikerjakan. Ada beberapa tujuan pembatasan topik, yaitu:
1.      meyakinkan penulis agar menulis dengan penuh keyakinan dan kepercayaan, karena pokok itu benar-benar sudah diketahui;
2.      meyakinkan penulis untuk mengadakan penelitian yang lebih intensif mengenai masalahnya; dan
3.      memudahkan penulis untuk memilih hal-hal yang mudah dikembangkan.
Membatasi sebuah topik dapat dilakukan dengan mempergunakan cara berikut:
1.      Tetapkanlah topik yang ingin digarap dalam suatu kedudukan sentral.
2.      Ajukan pertanyaan, apakah topik yang berada dalam kedudukan sentral itu masih dapat diperinci lebih lanjut. Bila dapat, tempatkanlah perinciannya itu di sekitar lingkaran topik pertama tadi.
3.      Tetapkanlah mana dari perincian tadi yang akan dipilih.
4.      Ajukan pertanyaan, apakah sektor tadi masih perlu diperinci lebih lanjut. Demikian dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh sebuah topik yang sangat khusus yang akan digarap lebih lanjut.

D. Penentuan Maksud
            Pembatasan topik belum tentu secara langsung dapat membatasi maksud penulis. Oleh sebab itu, penulis harus menetapkan pula maksud pengerjaan topik tersebut. Pembatasan maksud merupakan sebuah rancangan menyeluruh yang memungkinkan penulis bergerak bebas dalam batas-batas tadi, seperti halnya dengan pembatasan topik. Pembatasan maksud juga akan menentukan bahan mana yang diperlukan, serta cara mana yang paling baik bagi penyusun karangan itu.


E. Tesis dan Pengungkapan Maksud
            Penyusunan sebuah kerangka karangan diperlukan perumusan tema yang berbentuk kalimat. Perumusan singkatan yang mengandung tema dasar dari sebuah karangan disebut tesis, bila ada satu gagasan sentral yang menonjol. Bila tulisan itu tidak menonjolkan suatu gagasan utama, dalam bentuk singkatnya dapat dinyatakan dalam sebuah penjelasan tentang apa yang ingin disampaikan. Perumusan singkat ini yang menekankan tema dasarnya disebut pengungkapan maksud.

F. Tema yang Baik
            Selain dari sifat terbatas dan ketetapan perumusan, ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan untuk menyusun sebuah tema yang baik. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kejelasan
            Kejelasan dapat dilihat melalui:
a.       Gagasan sentralnya. Kalau gagasan sentralnya jelas, tema tentu dapat dirumuskan dalam sebuah kalimat yang jelas.
b.      Subordinasi atau perincian-perinciannya. Bila ada satu atau lebih perincian yang tidak memperlihatkan hubungan yang jelas, tema akan menjadi kabur, walaupun tesis atau pengungkapan maksudnya telah dirumuskan dengan baik. Perincian-perincian paling kecil dapat dilihat dalam struktur kalimat-kalimatnya. Struktur kalimat harus matang dan bervariasi.

2. Kesatuan
            Kesatuan dilihat dari adanya satuan-satuan gagasan sentral yang menjadi landasan seluruh karangan.




3. Perkembangan
            Perkembangan sebuah tema dapat dilihat dari dua sudut, yaitu:
a.       Apakah tesis atau pengungkapan maksud sudah diperinci secara maksimal untuk membuat tema itu menjadi jelas.
b.      Apakah perincian-perincian itu sudah diurutkan dalam suatu urutan yang teratur dan logis.

4. Keaslian
            Tema yang baik harus mengandung keaslian atau originalitas. Keaslian dapat diukur dari beberapa sudut, yakni pilihan pokok persoalan, sudut pandang, pendekatan, rangkaian kalimat-kalimat, pilihan kata, dan sebagainya.
            Keaslian atau originalitas harus diartikan bahwa sebuah karangan telah dikerjakan dalam batas-batas selera yang baik, sehingga menimbulkan kesegaran dan tidak menjemukan.

G. Judul yang Cocok
            Akan lebih baik menunggu pengerjaan tema hingga selesai, kemudian baru mencari sebuah judul yang tepat sehingga terjamin bahwa judul itu cocok atau sesuai dengan tema. Akan tetapi, hal itu tidak mengikat karena setiap orang memiliki gaya sendiri-sendiri. Sebuah judul yang baik akan merangsang perhatian pembaca dan cocok pula dengan temanya.








BAB VIII
MENULIS WACANA


A. Pengertian dan Jenis Wacana
            Wacana (discourse) merupakan tataran paling tinggi dalam hierarki kebahasaan, bukan hanya sekedar kumpulan kalimat-kalimat yang tidak beraturan, tetapi satuan kebahasaan yang terdiri atas kalimat-kalimat yang tertata secara berkesinambungan membentuk satu kesatuan yang padu dan utuh. Kata, kalimat, dan paragraf yang membentuknya dapat dimaknai sesuai dengan koteks dan konteksnya, karena kesatuan wacana tersebut terkandung amanat yang harus disampaikan ke pembaca. Tambahan pula, wacana merupakan kumpulan paragraf yang memiliki sebuah konsep utuh dengan pemahaman yang utuh pula.
            Wacana dapat diklasifikasikan, antara lain, menurut media, tujuan pemaparan, dan derajat keilmiahan. Menurut media, wacana dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan jelas disampaikan secara lisan oleh pembicara kepada pendengarnya, sehingga apabila terjadi kekeliruan, kesalahpahaman, atau ketidakjelasan, langsung bisa dilaksanakan komunikasi dua arah, dengan tujuan untuk meluruskan komunikasi. Contoh wacana lisan adalah percakapan, kuliah, ceramah, pidato, dan lain-lain. Sedangkan, wacana tulis menggunakan media tulis dalam berkomunikasi antara penulis dan pembaca, seperti surat-menyurat, cerita pendek, novel, makalah, laporan, dan skripsi. Karena dalam wacana tulis tidak terjadi komunikasi langsung, kesalahan dan ketidakjelasan tidak bisa langsung dibahas antara pembaca dan penulis. Untuk itu, wacana tulis memiliki tingkat kecermatan lebih tinggi dalam kaidah kebahasaan dibandingkan wacana lisan.
           



Menurut tujuan pemaparannya, wacana dapat dibedakan menjadi wacana narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi.
1. Narasi
            Wacana narasi berusaha mengisahkan suatu peristiwa atau kejadian secara kronologis. Beberapa tulisan yang terbiasa menggunakan wacana narasi adalah biografi, roman, novel, sejarah, dan sebagainya.

2.      Deskripsi
Wacana deskripsi berusaha untuk menggambarkan sesuatu hal sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, misalnya keadaan kota Yogyakarta dan pantai Parangtritis. Deskripsi bertalian dengan pelukisan pancaindera terhadap sebuah objek.

3. Eksposisi
            Wacana eksposisi bertujuan untuk memberi penjelasan atau informasi. Tulisan eksposisi menerangkan proses: bagaimana menata ruang, membuat aksesoris dari logam, membuat sebuah iklan televisi, dan lain-lain.

4. Argumentasi
            Wacana argumentasi sebenarnya termasuk dalam eksposisi, hanya sifatnya yang jauh lebih sulit karena harus mengajukan alasan-alasan, dan pembuktian-pembuktian. Tipe ini termasuk analisis, baik yang menyangkut pemecahan suatu pokok persoalan atas bagian-bagiannya maupun penggabungan masalah-masalah yang terpisah menjadi suatu klasifikasi yang lebih luas. Yang hampir sama dengan wacana ini adalah wacana eksposisi yang menguraikan pendapat atau pikiran penulis tentang suatu persoalan.

5. Persuasi
            Persuasi sebenarnya termasuk dalam argumentasi hanya sifatnya lebih ke arah mengajak pembaca agar mengikuti himbauan atau keinginan penulis.
            Menurut kadar ilmiahnya, wacana dikelompokkan dalam wacana ilmiah dan wacana nonilmiah. Wacana yang pertama berkaitan dengan keperluan akademis dan biasa disebut sebagai wacana ilmiah, misalnya makalah, skripsi, tesis, dan disertasi, sedangkan wacana nonilmiah misalnya, artikel yang ada di berbagai media cetak.

B. Wacana Ilmiah
            Yang dituntut terampil menulis wacana ilmiah adalah para akademisi yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan menulis ilmiah seperti makalah.
            Ciri khas wacana ilmiah adalah bahasanya yang formal dan disusun secara logis dan sistematis. Penulisan yang logis berarti substansi tulisan benar-benar dikuasai dan dapat disampaikan secara benar dan tepat, sedangkan penulisan yang sistematis berarti tulisan disampaikan secara runtut.
            Dalam membuat sebuah wacana ilmiah, penulis harus memiliki pengetahuan atau latar belakang informasi yang luas, kepekaan terhadap suatu masalah, dan pengetahuan kode etik penulisan ilmiah.
1. Tahap Penulisan Ilmiah
            Secara garis besar penulisan ilmiah memiliki langkah-langkah yang relatif sama, meskipun setiap orang memiliki gaya masing-masing. Menurut Syihabuddin (2006: 5-6), ada beberapa langkah-langkah menulis ilmiah, yaitu:
a.       merencanakan (mengumpulkan bahan, menentukan tujuan dan bentuk tulisan, dan menentukan pembaca);
b.      menulis (menyusun draf secara keseluruhan);
c.       merefleksikan (apakah sudah memenuhi tujuan? Apakah sudah sesuai dengan pembaca? Apakah sudah menginformasikan pesan secara cermat?); kemudian
d.      Merevisi (kebenaran gagasan, kebahasaan, kejelasan, kewajaran).
Beberapa wacana ilmiah yang sering dikerjakan oleh para akademisi pendidikan, selain skripsi dan disertasi, misalnya makalah, proposal penelitian, dan laporan. Selanjutnya akan dibahas mengenai makalah, sebagai salah satu jenis wacana ilmiah yang paling sering digunakan mahasiswa dalam setiap perkuliahan.

2. Menulis Makalah
            Makalah adalah karya tulis ilmiah yang berisi tentang suatu topik tertentu yang tercakup dalam ruang lingkup suatu perkuliahan atau yang berkaitan dengan suatu tema seminar, simposium, diskusi, atau kegiatan ilmiah lain. Makalah ditulis untuk berbagai macam fungsi, di antaranya memenuhi tugas mata kuliah, menjelaskan suatu kebijakan, dan menginformasikan suatu penemuan.
            Menurut Syihabuddin (2006: 7), secara umum, dikenal dua jenis makalah, yakni makalah biasa (common paper) dan makalah posisi (position paper).
            Mahasiswa membuat makalah biasa untuk menunjukkan pemahamannya terhadap permasalahan yang dibahas. Di dalam makalah biasa, mahasiswa mengemukakan berbagai pandangan tentang permasalahan yang dikaji disertai dengan pendapat baik kritik ataupun saran tanpa memihak salah satu pandangan tersebut. Di samping itu, makalah biasa dapat digunakan untuk menulis kebijakan, gagasan, atau temuan. Pada umumnya, makalah biasa diwajibkan bagi mahasiswa S1 (sarjana).
            Dalam makalah posisi, mahasiswa sudah dituntut untuk menunjukkan berbagai pandangan atau teori, tetapi harus mampu memberi penjelasan bahwa dia berada di posisi pandangan yang mana, disertai dengan alasan yang didukung dengan data relevan. Oleh sebab itu, mahasiswa harus mempelajari berbagai pandangan yang berbeda-beda, bahkan bertentangan, sehingga dia mampu memosisikan dirinya akan berpihak pada pandangan tertentu. Jadi, kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi sangat diperlukan untuk membuat makalah posisi. Makalah ini diwajibkan kepada mahasiswa S2 (pascasarjana).



a. Sistematika Penulisan Makalah
            Makalah biasanya disusun dengan sistematika:
(1) Judul
            Judul merupakan nama sebuah karangan. Judul sebaiknya memberi gambaran tentang masalah secara jelas, menarik perhatian pembaca, dan menciptakan keingintahuan pembaca akan isi keseluruhan tulisan. Yang perlu diperhatikan dalam pemilihan judul adalah menggambarkan isi, singkat dan jelas, berupa frasa atau klausa, dan menarik.

(2) Abstrak
            Abstrak berisi intisari keseluruhan tulisan. Abstrak ditulis secara naratif dan diketik satu spasi, sekitar tiga paragraf. Abstrak memuat latar belakang masalah, tujuan, kesimpulan, dan saran yang ditulis secara padat.

(3) Pendahuluan
            Pendahuluan terdiri atas latar belakang masalah yang disusun secara logis. Penulis mengutarakan alasan-alasannya memilih tema yang diangkat. Bagian ini memiliki tanggung jawab untuk mengantarkan pembaca menuju arah pembicaraan yang akan diulas, sehingga penulis harus mampu memberikan tulisan yang menarik agar pembaca memyimpan keingintahuan yang tinggi terhadap tulisan tersebut.

(4) Pembahasan
            Bagian ini merupakan inti makalah. Deskripsi tentang subjek studi, analisis permasalahan, dan pemecahan masalah ada di bagian pembahasan. Penulis hendaknya menggunakan teori, data, atau pandangan ahli untuk mendukung analisisnya.



(5) Kesimpulan
            Secara umum, kesimpulan berisi hasil dari seluruh pembahasan dan setidak-tidaknya berisi jawaban atas semua permasalahan yang dikemukakan dalam pendahuluan.

(6) Daftar Pustaka
            Bagian ini memuat semua sumber yang diacu, berupa buku, jurnal, dan lain-lain. Pustaka disusun ke bawah berdasarkan abjad nama penulis yang sudah dibalik. Untuk buku, teknik penulisan daftar pustaka sebagai berikut: nama penulis, tahun terbit, judul buku, jilid (jika ada), terbitan ke-, nama kota, dan nama penerbit, contohnya:
Sugono, Dendy.1994. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara.

            Sebenarnya masih ada tipe penulisan daftar pustaka yang berbeda urutan dengan contoh di atas. Namun demikian, hal itu bukan menjadi suatu permasalahan. Yang terpenting adalah penulis menggunakannya secara konsisten, artinya dia mengikuti tipe tertentu dan tidak berubah-ubah penggunaannya.

b. Langkah-Langkah Penulisan Makalah
            Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam menulis makalah, yakni:
1)      menentukan dan membatasi topik;
2)      membuat kerangka dan mengumpulkan bahan;
3)      membaca pustaka dan menentukan bagian-bagian penting yang akan dirujuk;
4)      menulis draf makalah;
5)      menyunting sendiri draft makalah; dan
6)      menyempurnakan makalah.

           

DAFTAR PUSTAKA

Akhadiah, Sabarti, Maidar G. Arsjad, dan Sakura H. Ridwan. 1992. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Anggarani, Asih, Sri Hapsari Wijayanti, Ika Endang Sri H., dan Amalia Candrayani. 2006. Mengasah Keterampilan Menulis Ilmiah di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Hs., Widjono. 2005. Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: Gramedia.

Keraf, Gorys. 1985. Deskripsi dan Eksposisi. Ende Flores: Nusa Indah.

----------------. 1991. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia.

----------------. 2001. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

-----------------. 2004. Komposisi. Ende Flores: Nusa Indah.

Poerwadarminta, W.J.S. 1979. Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang. Yogyakarta: UP Karyono.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1993. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta: Balai Pustaka.

Sugihastuti. 2000. Bahasa Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugono, Dendy. 1994. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara.

Syihabuddin. 2006. “Ihwal Menulis Akademik dalam MPK Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi”. Pelatihan Nasional Dosen Bahasa Indonesia Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.

Widyamartaya, A. 1990. Seni Menggayakan Kalimat. Yogyakarta: Kanisius.